Mempidana Korban Kebakaran Lahan dan Hutan

Oleh:

Muhamad Zainal Arifin, S.H.

Advokat dan Pengamat Hukum Kehutanan dan Perkebunan di Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan (BKH2K)

(Dimuat di Agro Indonesia edisi 27 Oktober 2015-2 November 2015)

Bencana kebakaran lahan dan hutan telah melanda Indonesia berbulan-bulan. Menurut Data Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc, total luas areal yang terbakar sudah mencapai 1,7 juta hektar. Dampak yang diakibatkan oleh kebakaran lahan dan hutan sangat luar biasa, tidak hanya berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia saja, tetapi juga telah menyebar mengganggu aktifitas masyarakat di Singapura, Malaysia, Thailand bahkan konon kabut asap sampai di Filipina bagian selatan. Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merupakan daerah terparah yang terkena dampak langsung akibat kebakaran lahan dan hutan.

Banyak pakar berpendapat bahwa kebakaran hutan tahun 2015 merupakan kebakaran terparah melebihi kebakaran yang terjadi tahun 1997 silam. Center for International Forestry Research (CIFOR) merilis bahwa kerugian akibat kebakaran lahan dan hutan mencapai Rp 200 triliun. Kerugian ini akumulasi dari faktor kesehatan, pencemaran udara, kerusakan kayu dan kerusakan lingkungan.

Masyarakat pun dibuat geram atas kejadian kebakaran lahan dan hutan yang tidak kunjung padam. Pandangan negatif masyarakat kemudian mengarah kepada perusahaan sawit dan kehutanan yang dianggap sebagai biang kerok terjadinya kebakaran. Masyarakat menganggap bahwa perusahaan sawit dan kehutanan masih melakukan pembakaran untuk membuka lahan karena dianggap lebih murah daripada menggunakan cara mekanik.

Presiden Jokowi menginstruksikan langsung kepada Kapolri untuk menangkap penanggung jawab kebakaran lahan dan tidak berhenti pada masyarakat bawah saja. Instruksi tersebut ditanggapi oleh kepolisian dengan menggelar aksi investigasi besar-besaran untuk menangkap pelaku, dengan sasaran utamanya adalah perusahaan.

Dalam investigasinya, Kepolisian menggunakan pembuktian yang sederhana bahkan serampangan dengan menyatakan jika ada titik api di areal konsesi perusahaan, maka perusahaan yang bertanggung jawab, tanpa memperdulikan apakah perusahaan merupakan pelaku atau justru korban dari kebakaran lahan dan hutan.

Menurut data Bareskrim MABES POLRI, sampai dengan tanggal 7 Oktober 2015 kepolisian telah menetapkan 223 tersangka, dengan rincian 12 diantaranya tersangka korporasi dan sisanya 211 tersangka perorangan. Mereka diduga terlibat dalam 242 Laporan Polisi dengan luas areal yang dibakar atau terbakar 42.676 ha.

Lantas benarkah perusahaan sawit dan kehutanan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran sebagaimana anggapan masyarakat?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita lihat statistik yang dilansir oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menyatakan sebaran hotspot di Sumatera selama 1-30 September 2015 sesuai peruntukan lahan adalah Hutan Tanaman Industri (HTI)/IUPHHK-HTI sebanyak 44 %, kebun sawit sebanyak 4 %, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) / IUPHHK-Hutan Alam sebanyak 2 % dan di luar konsesi sebanyak 50 % (Agro Indonesia Vol. XI No. 563, 13-19 Oktober 2015).

Berdasarkan statistik tersebut, perusahaan kebun sawit yang dianggap sebagai public enemy nomor 1 di Indonesia atas kebakaran lahan dan hutan, ternyata hanya menyumbang 4 %. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa kebakaran lahan di areal kebun sawit, bukanlah diakibatkan kesengajaan untuk membakar lahan dalam kegiatan land clearing, tetapi akibat api yang berasal dari luar. Menurut data GAPKI, kebakaran yang terjadi di perkebunan perusahaan kelapa sawit berada di areal yang sudah ada tanaman. Mana mungkin perusahaan dengan sengaja membakar kebun yang sudah ada sawit, begitu argumentasi dari GAPKI.

Menilik argumentasi dari GAPKI, memang ada benarnya. Jika kebakaran terjadi di areal yang sudah ada tanaman sawitnya dan apinya berasal dari luar, penulis menganggap bahwa perusahaan tersebut hanyalah korban. Areal yang sudah ada tanaman merupakan aset bagi perusahaan sawit dan mereka akan berusaha supaya tanaman tersebut tetap hidup dan berproduksi. Jika ada kesengajaan untuk membakar lahan yang sudah ada tanamannya, maka perusahaan tersebut pastilah gila. Perlu dicatat bahwa 80 % aset dari perusahaan perkebunan dan HTI adalah tanaman.

Mempidana Korban

Saya akan membuat analogi sederhana terkait dengan kebakaran, supaya kita lebih memahami pertanggungjawaban pidana kebakaran lahan. Contohnya jika rumah tetangga kebakaran, lantas apinya merembet ke rumah saya dan saya sudah berusaha keras untuk memadamkannya, tetapi api tetap menghanguskan rumah saya, apakah pantas saya dijadikan sebagai pelaku kebakaran? Dalam logika sederhana, kebakaran yang menimpa rumah saya merupakan musibah. Jika saya ditetapkan sebagai tersangka sebagai pelaku pembakaran karena dianggap lalai karena tidak mampu memadamkan api, maka terjadi pembalikan logika hukum. Dalam kasus ini, saya adalah korban dan seharusnya mendapatkan perlindungan hukum, bukan malah dijerat sebagai pelaku pembakaran.

Begitu juga seharusnya diterapkan kepada perusahaan yang kebunnya terbakar akibat api dari luar. Seharusnya mereka juga diperlakukan sebagai korban. Namun, dalam beberapa kasus kebakaran lahan dan hutan yang melibatkan perusahaan sawit, sepertinya menggunakan logika yang terbalik. Dalam tulisan yang diterbitkan Tim Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dinyatakan, untuk menyimpulkan kebakaran hutan terkait dengan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak didukung data yang ada. Di Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Barat yang merupakan provinsi yang sedang intensif pembukaan kebun sawit, luas kebakaran hutan justru relatif kecil dibandingkan provinsi sentra sawit yang sudah berkembang lama.

Dalam kajian itu dinyatakan pihak yang menjadi korban kebakaran sering malah dijadikan ‘kambing hitam’ penyebab kebakaran tanpa didasari pada analisis rasional dan bukti empiris. Kesimpulan penyebab kebakaran sudah dibangun di atas meja, sehingga di lapangan hanya menghimpun data dan informasi yang membenarkan kesimpulan yang telah ditentukan sebelumnya. Perkebunan yang ditemukan telah atau sedang terbakar, langsung disimpulkan sebagai penyebab kebakaran. Tidak dianalisis lebih lanjut apakah perkebunan tersebut benar-benar aktor kebakaran atau justru menjadi korban kebakaran. Cara melihat kebakaran dengan logika yang jungkir balik demikian, selain melanggar asas praduga tak bersalah juga tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya, demikian tulisan Tim Riset PASPI.

Meskipun perusahaan merupakan korban dari kebakaran lahan, tetapi aparat penegak hukum tidak mau tahu dan masih menjerat perusahaan dengan Pasal berlapis antara lain Pasal 108, Pasal 98 ayat (1), dan Pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta ditambah lagi ketentuan Pasal 108 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin cocok disematkan kepada nasib perusahaan sawit yang hanya menjadi korban kebakaran tetapi tetap dijadikan tersangka.

Tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009 yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”, seharusnya ditujukan untuk pelaku yang sejak awal ada kesengajaan untuk melakukan pembakaran dalam pembukaan lahan.

Dalam kasus yang sudah sampai di Pengadilan, meskipun secara fakta hukum, lokasi kebakaran berada di areal yang sudah ada tanaman produktifnya, namun tetap saja penegak hukum tetap menjerat perusahaan ini dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009. Nanti kita buktikan saja di Pengadilan, begitu seloroh aparat penegak hukum, jika diajak berdebat terkait penggunaan Pasal ini. Tentu saja, penggunaan Pasal ini untuk menjerat perusahaan yang seharusnya menjadi korban kebakaran lahan merupakan bentuk akrobat hukum yang sedang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum kita.

Di samping itu, perusahaan juga dikenakan tindak pidana kelalaian menjaga baku mutu lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009. Pasal 99 ayat (1) menyatakan “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal ini sangat mudah diterapkan kepada perusahaan yang lahannya terbakar, karena perusahaan dianggap lalai dalam mengatasi kebakaran lahan. Jika perusahaan sudah berusaha keras untuk memadamkannya, tetapi memang kondisi api yang begitu besar akibat diperparah dengan el nino, apa benar perusahaan masih dianggap lalai.

Jika penegak hukum dapat dengan mudah menjerat perusahaan dengan tindak pidana kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009, maka seharusnya mereka dengan mudah juga menjerat penyelenggara negara yang lalai dalam menjaga areal di luar konsesi yang mencapai 50 % dari areal terbakar, khususnya kawasan hutan yang ditunjuk, tetapi tidak dilakukan penjagaan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Jangan Untuk Pencitraan

Penegakan hukum pidana atas kasus kebakaran lahan dan hutan, seharusnya dilakukan secara proporsional dan profesional dengan melihat fakta dan kejadian di lapangan. Jika memang areal yang terbakar diakibatkan dari luar dan tidak ada unsur kesengajaan untuk membakar lahan, maka pihak-pihak tersebut seharusnya dilepaskan dari jerat hukum dan justru mendapatkan perlindungan hukum. Apalagi perusahaan sudah beritikad baik mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan berusaha keras untuk memadamkan api di arealnya.

Janganlah kegagalan Pemerintah untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan, ditutupi dengan penegakan hukum yang berorientasi pencitraan. Kita memang geram terhadap kebakaran lahan dan hutan, tetapi tidak seharusnya penegak hukum secara serampangan menjerat para korban untuk dijadikan pelaku kejahatan pembakaran lahan, supaya dianggap kerja, kerja, dan kerja oleh Presiden. Jika orientasi penegakan hukum hanya mengejar pencitraan, maka kasus kebakaran lahan dan hutan akan tetap menjadi tradisi tahunan di negeri ini.

Komentar Atas Tulisan Moratorium Hutan Indonesia (CIFOR)

Working Paper Daniel Mudiyarso, Sonya Dewi, Deborah Lawrence, dan Frances Seymour yang berjudul Moratorium Hutan Indonesia: Batu Loncatan untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan? terutama yang ada dalam Kotak 1 halaman 7 menurut saya agak tendesius dan kurang memahami persoalan hutan di Kalimantan Tengah. Di dalam kotak tersebut Daniel Mudiyarso dkk yang berasal dari CIFOR menyatakan sebagai berikut:  Sebelas hari setelah moratorium diberlakukan, Keputusan Menteri baru (SK 292/Menhut II/2011) diterbitkan. SK ini mengubah status hampir 1,2 juta ha lahan hutan negara menjadi lahan untuk penggunaan lain dan memberlakukan hal yang sebaliknya, tetapi hanya mencakup 30.000 ha lahan nonhutan yang dikategorikan ulang sebagai lahan hutan.

 Dalam memberikan analisis terhadap SK Menhut 292 Tahun 2011, Daniel Mudiyarso dkk kurang memahami historikal dan permasalahan kawasan hutan di Kalimantan Tengah. Dalam benak Daniel Mudiyarso dkk, seolah-olah perubahan status 1,2 juta kawasan hutan menjadi APL dan hanya 30.000 ha menjadi non hutan, merupakan suatu yang keanehan. Dan dalam benak Daniel Mudiyarso dkk, yang ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan benar-benar merupakan hutan.

Menurut saya, justru pengubahan status kawasan hutan 1,2 juta belum mengakomodir kepentingan rakyat Kalimantan Tengah. Perlu untuk diketahui, bahwa secara yuridis Provinsi Kalimantan sudah ada sejak tahun 1957. Sejak saat itu sudah dibangun permukiman, pusat pemerintahan maupun fasilitas lainnya. Kemudian pada tahun 1982, secara seenaknya Kementerian Pertanian pada waktu itu menyatakan 15.300.000 ha areal Kalimantan Tengah ditunjuk sebagai kawasan hutan (hampir seluruh Kalimantan Tengah sebagai kawasan hutan). Sebenarnya pada 1994-1998 terjadi negoisasi antara daerah dan pusat tentang kawasan hutan yang ideal atau lebih dikenal proses paduserasi. Sayangnya hasil paduserasi tidak ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Kehutanan. Kemudian pada Tahun 2003, muncullah Surat Edaran No. 404/Menhut-II/03 yang berisi bahwa “Bagi setiap provinsi yang belum ada Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kembali atas kawasan hutan yang didasarkan pada hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), maka kawasan hutan pada provinsi tersebut mengacu dan berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)”. Dengan adanya Surat Edaran tersebut, maka TGHK 1982 masih digunakan sebagai acuan. Pada kurun waktu 1982-2011, Menteri Kehutanan melakukan pelepasan kawasan hutan sebesar 1.221.668 ha atau yang lebih dikenal TGHK Updated.

Adanya SK 292 Tahun 2011 yang menurut perpektif Daniel Mudiyarso dkk dianggap obral kawasan hutan, ternyata masih banyak hak-hak pihak ketiga yang masih dilanggar oleh Menteri Kehutanan dengan TGHK 1982 dan SK 292, misalnya desa-desa di Kabupaten Kapuas dimana masih banyak penduduk yang bermukim dinyatakan sebagai kawasan Hutan Lindung; ibu kota Kecamatan Timpah berada di pada Kawasan Suaka Alam / Kawasan Pelestarian Alam dan beberapa lokasi Proyek Lahan Gambut yang sudah mendapatkan Sertifikat Hak Milik kembali dijadikan kawasan hutan

Sudah saatnya kita jaga hutan yang masih tersisa dan bukan hanya berdebat masalah besaran kawasan hutan karena kawasan hutan yang secara asal-asalan ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan tak sepenuhnya berbentuk  hutan.