Mempidana Korban Kebakaran Lahan dan Hutan

Oleh:

Muhamad Zainal Arifin, S.H.

Advokat dan Pengamat Hukum Kehutanan dan Perkebunan di Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan (BKH2K)

(Dimuat di Agro Indonesia edisi 27 Oktober 2015-2 November 2015)

Bencana kebakaran lahan dan hutan telah melanda Indonesia berbulan-bulan. Menurut Data Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc, total luas areal yang terbakar sudah mencapai 1,7 juta hektar. Dampak yang diakibatkan oleh kebakaran lahan dan hutan sangat luar biasa, tidak hanya berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia saja, tetapi juga telah menyebar mengganggu aktifitas masyarakat di Singapura, Malaysia, Thailand bahkan konon kabut asap sampai di Filipina bagian selatan. Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merupakan daerah terparah yang terkena dampak langsung akibat kebakaran lahan dan hutan.

Banyak pakar berpendapat bahwa kebakaran hutan tahun 2015 merupakan kebakaran terparah melebihi kebakaran yang terjadi tahun 1997 silam. Center for International Forestry Research (CIFOR) merilis bahwa kerugian akibat kebakaran lahan dan hutan mencapai Rp 200 triliun. Kerugian ini akumulasi dari faktor kesehatan, pencemaran udara, kerusakan kayu dan kerusakan lingkungan.

Masyarakat pun dibuat geram atas kejadian kebakaran lahan dan hutan yang tidak kunjung padam. Pandangan negatif masyarakat kemudian mengarah kepada perusahaan sawit dan kehutanan yang dianggap sebagai biang kerok terjadinya kebakaran. Masyarakat menganggap bahwa perusahaan sawit dan kehutanan masih melakukan pembakaran untuk membuka lahan karena dianggap lebih murah daripada menggunakan cara mekanik.

Presiden Jokowi menginstruksikan langsung kepada Kapolri untuk menangkap penanggung jawab kebakaran lahan dan tidak berhenti pada masyarakat bawah saja. Instruksi tersebut ditanggapi oleh kepolisian dengan menggelar aksi investigasi besar-besaran untuk menangkap pelaku, dengan sasaran utamanya adalah perusahaan.

Dalam investigasinya, Kepolisian menggunakan pembuktian yang sederhana bahkan serampangan dengan menyatakan jika ada titik api di areal konsesi perusahaan, maka perusahaan yang bertanggung jawab, tanpa memperdulikan apakah perusahaan merupakan pelaku atau justru korban dari kebakaran lahan dan hutan.

Menurut data Bareskrim MABES POLRI, sampai dengan tanggal 7 Oktober 2015 kepolisian telah menetapkan 223 tersangka, dengan rincian 12 diantaranya tersangka korporasi dan sisanya 211 tersangka perorangan. Mereka diduga terlibat dalam 242 Laporan Polisi dengan luas areal yang dibakar atau terbakar 42.676 ha.

Lantas benarkah perusahaan sawit dan kehutanan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran sebagaimana anggapan masyarakat?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita lihat statistik yang dilansir oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menyatakan sebaran hotspot di Sumatera selama 1-30 September 2015 sesuai peruntukan lahan adalah Hutan Tanaman Industri (HTI)/IUPHHK-HTI sebanyak 44 %, kebun sawit sebanyak 4 %, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) / IUPHHK-Hutan Alam sebanyak 2 % dan di luar konsesi sebanyak 50 % (Agro Indonesia Vol. XI No. 563, 13-19 Oktober 2015).

Berdasarkan statistik tersebut, perusahaan kebun sawit yang dianggap sebagai public enemy nomor 1 di Indonesia atas kebakaran lahan dan hutan, ternyata hanya menyumbang 4 %. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa kebakaran lahan di areal kebun sawit, bukanlah diakibatkan kesengajaan untuk membakar lahan dalam kegiatan land clearing, tetapi akibat api yang berasal dari luar. Menurut data GAPKI, kebakaran yang terjadi di perkebunan perusahaan kelapa sawit berada di areal yang sudah ada tanaman. Mana mungkin perusahaan dengan sengaja membakar kebun yang sudah ada sawit, begitu argumentasi dari GAPKI.

Menilik argumentasi dari GAPKI, memang ada benarnya. Jika kebakaran terjadi di areal yang sudah ada tanaman sawitnya dan apinya berasal dari luar, penulis menganggap bahwa perusahaan tersebut hanyalah korban. Areal yang sudah ada tanaman merupakan aset bagi perusahaan sawit dan mereka akan berusaha supaya tanaman tersebut tetap hidup dan berproduksi. Jika ada kesengajaan untuk membakar lahan yang sudah ada tanamannya, maka perusahaan tersebut pastilah gila. Perlu dicatat bahwa 80 % aset dari perusahaan perkebunan dan HTI adalah tanaman.

Mempidana Korban

Saya akan membuat analogi sederhana terkait dengan kebakaran, supaya kita lebih memahami pertanggungjawaban pidana kebakaran lahan. Contohnya jika rumah tetangga kebakaran, lantas apinya merembet ke rumah saya dan saya sudah berusaha keras untuk memadamkannya, tetapi api tetap menghanguskan rumah saya, apakah pantas saya dijadikan sebagai pelaku kebakaran? Dalam logika sederhana, kebakaran yang menimpa rumah saya merupakan musibah. Jika saya ditetapkan sebagai tersangka sebagai pelaku pembakaran karena dianggap lalai karena tidak mampu memadamkan api, maka terjadi pembalikan logika hukum. Dalam kasus ini, saya adalah korban dan seharusnya mendapatkan perlindungan hukum, bukan malah dijerat sebagai pelaku pembakaran.

Begitu juga seharusnya diterapkan kepada perusahaan yang kebunnya terbakar akibat api dari luar. Seharusnya mereka juga diperlakukan sebagai korban. Namun, dalam beberapa kasus kebakaran lahan dan hutan yang melibatkan perusahaan sawit, sepertinya menggunakan logika yang terbalik. Dalam tulisan yang diterbitkan Tim Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dinyatakan, untuk menyimpulkan kebakaran hutan terkait dengan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak didukung data yang ada. Di Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Barat yang merupakan provinsi yang sedang intensif pembukaan kebun sawit, luas kebakaran hutan justru relatif kecil dibandingkan provinsi sentra sawit yang sudah berkembang lama.

Dalam kajian itu dinyatakan pihak yang menjadi korban kebakaran sering malah dijadikan ‘kambing hitam’ penyebab kebakaran tanpa didasari pada analisis rasional dan bukti empiris. Kesimpulan penyebab kebakaran sudah dibangun di atas meja, sehingga di lapangan hanya menghimpun data dan informasi yang membenarkan kesimpulan yang telah ditentukan sebelumnya. Perkebunan yang ditemukan telah atau sedang terbakar, langsung disimpulkan sebagai penyebab kebakaran. Tidak dianalisis lebih lanjut apakah perkebunan tersebut benar-benar aktor kebakaran atau justru menjadi korban kebakaran. Cara melihat kebakaran dengan logika yang jungkir balik demikian, selain melanggar asas praduga tak bersalah juga tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya, demikian tulisan Tim Riset PASPI.

Meskipun perusahaan merupakan korban dari kebakaran lahan, tetapi aparat penegak hukum tidak mau tahu dan masih menjerat perusahaan dengan Pasal berlapis antara lain Pasal 108, Pasal 98 ayat (1), dan Pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta ditambah lagi ketentuan Pasal 108 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin cocok disematkan kepada nasib perusahaan sawit yang hanya menjadi korban kebakaran tetapi tetap dijadikan tersangka.

Tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009 yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”, seharusnya ditujukan untuk pelaku yang sejak awal ada kesengajaan untuk melakukan pembakaran dalam pembukaan lahan.

Dalam kasus yang sudah sampai di Pengadilan, meskipun secara fakta hukum, lokasi kebakaran berada di areal yang sudah ada tanaman produktifnya, namun tetap saja penegak hukum tetap menjerat perusahaan ini dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009. Nanti kita buktikan saja di Pengadilan, begitu seloroh aparat penegak hukum, jika diajak berdebat terkait penggunaan Pasal ini. Tentu saja, penggunaan Pasal ini untuk menjerat perusahaan yang seharusnya menjadi korban kebakaran lahan merupakan bentuk akrobat hukum yang sedang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum kita.

Di samping itu, perusahaan juga dikenakan tindak pidana kelalaian menjaga baku mutu lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009. Pasal 99 ayat (1) menyatakan “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Pasal ini sangat mudah diterapkan kepada perusahaan yang lahannya terbakar, karena perusahaan dianggap lalai dalam mengatasi kebakaran lahan. Jika perusahaan sudah berusaha keras untuk memadamkannya, tetapi memang kondisi api yang begitu besar akibat diperparah dengan el nino, apa benar perusahaan masih dianggap lalai.

Jika penegak hukum dapat dengan mudah menjerat perusahaan dengan tindak pidana kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009, maka seharusnya mereka dengan mudah juga menjerat penyelenggara negara yang lalai dalam menjaga areal di luar konsesi yang mencapai 50 % dari areal terbakar, khususnya kawasan hutan yang ditunjuk, tetapi tidak dilakukan penjagaan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Jangan Untuk Pencitraan

Penegakan hukum pidana atas kasus kebakaran lahan dan hutan, seharusnya dilakukan secara proporsional dan profesional dengan melihat fakta dan kejadian di lapangan. Jika memang areal yang terbakar diakibatkan dari luar dan tidak ada unsur kesengajaan untuk membakar lahan, maka pihak-pihak tersebut seharusnya dilepaskan dari jerat hukum dan justru mendapatkan perlindungan hukum. Apalagi perusahaan sudah beritikad baik mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan berusaha keras untuk memadamkan api di arealnya.

Janganlah kegagalan Pemerintah untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan, ditutupi dengan penegakan hukum yang berorientasi pencitraan. Kita memang geram terhadap kebakaran lahan dan hutan, tetapi tidak seharusnya penegak hukum secara serampangan menjerat para korban untuk dijadikan pelaku kejahatan pembakaran lahan, supaya dianggap kerja, kerja, dan kerja oleh Presiden. Jika orientasi penegakan hukum hanya mengejar pencitraan, maka kasus kebakaran lahan dan hutan akan tetap menjadi tradisi tahunan di negeri ini.

Ringkasan Uji Materi Pembatasan PK dalam UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman

Permohonan Pengujian Perkara No. 45/PUU-XIII/2015

Pemohon: Muhamad Zainal Arifin, S.H.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

  1. Bahwa yang menjadi obyek permohonan uji materi adalah Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 yang mengatur pembatasan peninjauan kembali (PK) hanya dapat dilakukan 1 kali yang ditafsirkan dan diberlakukan terhadap perkara pidana;
  2. Bahwa karena permohonan Pemohon adalah menguji ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 terhadap ketentuan UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini.

 

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

  1. Bahwa sebagai warga negara pembayar pajak (tax payer) yang berprofesi sebagai advokat dan aktif mendorong perwujudan nilai-nilai negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemohon memiliki kepentingan konstitusional agar norma-norma hukum yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, tidak membatasi peninjauan kembali dalam perkara pidana.
  2. Bahwa Pemohon dirugikan atas ketentuan Pasal-Pasal aquo yang diuji karena merujuk pada kedua ketentuan tersebut, maka peninjauan kembali terhadap perkara pidana masih dibatasi hanya 1 (satu) kali. Padahal ketentuan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”, sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014.
  3. Bahwa pembatasan peninjauan kembali terhadap perkara pidana hanya dapat dilakukan 1 kali dengan mengacu pada ketentuan Pasal-Pasal aquo, dapat dilihat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2014 yang mengatur pembatasan PK dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan 1 kali.
  4. Bahwa Pemohon mempunyai hak dan kewajiban konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 untuk menjunjung hukum, tanpa terkecuali.
  5. Bahwa jika ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tetap diberlakukan dalam peninjauan kembali perkara pidana, maka Pemohon selaku advokat berpotensi dirugikan karena tidak dapat menegakkan hukum dan keadilan atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menimpa klien Pemohon, karena upaya peninjauan kembali perkara pidana untuk kedua kalinya berpotensi tidak diterima. Padahal dalam permohonan peninjauaan kembali tersebut, Pemohon selaku advokat telah mengumpulkan beberapa novum yang dapat mempengaruhi Putusan sebelumnya seperti keterangan saksi dan bukti transfer yang membuktikan bahwa Klien Pemohon tidak menikmati uang korupsi, yang mana novum yang substansial baru ditemukan pada saat ini dan pada saat peninjauan kembali sebelumnya belum ditemukan.
  6. Bahwa dalam yurisprudensi Putusan sebelumnya, khususnya dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, MK menerima legal standing seorang advokat dalam menguji Undang-Undang Mahkamah Agung, karena seorang advokat dalam profesinya akan banyak berhubungan dengan Mahkamah Agung oleh karenanya secara langsung memerlukan kepastian hukum atas segala hal yang berhubungan dengan lembaga Mahkamah Agung. Bahwa Pemohon selaku advokat juga beberapa kali pernah mengajukan pengujian undang-undang sebagaimana Perkara No. 78/PUU-X/2012 (dalam pengujian UU 8 Tahun 1981 dan UU Kekuasaan Kehakiman) dan Perkara No. 16/PUU-X/2012 (dalam pengujian UU Kejaksaan, UU Tipikor dan UU KPK), dan dalam kedua perkara tersebut, MK berpendapat bahwa Pemohon selaku advokat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji materi.
  7. Bahwa dengan demikian, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

Alasan-Alasan Permohonan

  1. Bahwa yang menjadi obyek permohonan pengujian adalah Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 yang mengatur pembatasan peninjauan kembali yang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
  2. Bahwa ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009, ditafsirkan dan dijadikan dasar oleh Mahkamah Agung untuk membatasi peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali (vide SEMA No. 7 Tahun 2014).
  3. Bahwa meskipun ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi masih terdapat ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 yang menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 dengan memberlakukan pembatasan peninjauan kembali dalam perkara pidana.
  4. Bahwa akibat diberlakukannya Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 dalam peninjauan kembali perkara pidana, maka permohonan peninjauan kembali terhadap perkara pidana yang pernah dilakukan peninjauan kembali, tidak diterima dalam pemeriksaan pengadilan tingkat pertama dan berkasnya tidak dikirim ke Mahkamah Agung. Bahkan beberapa Pengadilan Negeri membuat penetapan bahwa peninjauan kembali tersebut tidak diterima, tanpa melihat keberadaan novum. Penetapan tidak diterima hanya menggunakan dasar Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 maupun SEMA No. 7 Tahun 2014.
  5. Bahwa UUD 1945 telah memberikan perlindungan hukum dan penghormatan hak asasi manusia supaya warga negara (khususnya terpidana) mendapatkan jaminan tegaknya keadilan dan kepastian hukum yang adil dalam bingkai negara hukum, sebagaimana tercantum Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
  6. Bahwa karena Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka pengaturan antar Undang-undang harus konsisten dan koheren satu dengan lainnya, sehingga memberikan jaminan kepastian hukum yang adil. Dalam suatu Undang-undang atau antar Undang-undang harus terdapat konsistensi dan koherensi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, sehingga tidak boleh terdapat kontradiksi dalam Undang-undang bersangkutan atau antar Undang-undang. Adanya pertentangan pasal antar Undang-undang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan kebingungan menyangkut undang-undang yang mana yang harus dijadikan patokan dalam proses pencarian keadilan.
  7. Bahwa oleh karena terdapat ketidakkonsistenan antara Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 (dimana mengatur pembatasan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali), dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 (yang telah membatalkan ketentuan pembatasan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam perkara pidana), maka adanya ketidakkonsistenan tersebut telah melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
  8. Bahwa di samping itu, jika ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tentang pembatasan peninjauan kembali, diberlakukan terhadap perkara pidana, maka ketentuan tersebut bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Dengan pembatasan peninjauan kembali terhadap perkara pidana, maka mengakibatkan hak konstitusional warga negara atas keadilan menjadi terlanggar. Padahal Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013)
  9. Bahwa supaya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memberikan keadilan bagi warga negara, maka Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution atau the sole interpreter of constitution perlu memberikan penafsiran bahwa Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali berlaku untuk perkara pidana”.

Petitum

Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan:

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali berlaku untuk perkara pidana.
  3. Menyatakan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali berlaku untuk perkara pidana.
  4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Atau jika Majelis Hakim Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Ringkasan Permohonan Uji Materi Praperadilan Perkara No. 41/PUU-XIII/2015

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

  1. Bahwa permohonan uji materi ini diajukan terhadap Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95 dan Pasal 96 UU No. 8 Tahun 1981 yang mengatur praperadilan, yang diajukan oleh Muhamad Zainal Arifin, S.H. yang pekerjaan advokat.
  2. Bahwa karena yang menjadi objek permohonan adalah pasal-pasal yang ada dalam UU No. 8 Tahun 1981 untuk diuji terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan MK, maka MK berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini.

Kedudukan Hukum Pemohon

  1. Bahwa Pemohon dirugikan atas ketentuan Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95 dan Pasal 96 UU No. 8 Tahun 1981 karena pengertian dan objek praperadilan yang ada dalam pasal-pasal tersebut hanya dibatasi untuk menguji “a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”, dan belum memasukkan “sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, pemblokiran rekening atas permintaan pihak yang dirugikan” dalam pengertian dan objek praperadilan.
  1. Bahwa sebagai warga negara pembayar pajak yang berprofesi sebagai advokat dan aktif mendorong perwujudan nilai-nilai negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemohon memiliki kepentingan konstitusional agar norma-norma aquo yang diuji memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil kepada setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
  1. Bahwa Pemohon selaku pribadi yang pekerjaan advokat, berpotensi dan rentan mendapatkan upaya paksa penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran karena dianggap mempunyai hubungan dengan tersangka atau terdakwa. Jika objek praperadilan masih dibatasi sebagaimana norma-norma a quo yang diuji, maka Pemohon selaku pribadi tidak dapat mengajukan upaya hukum praperadilan terhadap upaya paksa tersebut.
  1. Bahwa Pemohon dalam hubungan pekerjaan selaku advokat berpotensi dirugikan karena tidak dapat melakukan upaya hukum secara maksimal terhadap upaya paksa penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum yang menimpa klien Pemohon, dan upaya hukum praperadilan yang diajukan berpotensi tidak diterima oleh Pengadilan dengan alasan tidak masuk dalam objek dan ruang lingkup praperadilan.
  1. Bahkan dalam yurisprudensi Putusan sebelumnya, khususnya dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, MK menerima legal standing seorang advokat dalam menguji Undang-Undang Mahkamah Agung, karena seorang advokat dalam profesinya akan banyak berhubungan dengan Mahkamah Agung oleh karenanya secara langsung memerlukan kepastian hukum atas segala hal yang berhubungan dengan lembaga Mahkamah Agung.
  1. Bahwa Pemohon selaku advokat juga beberapa kali pernah mengajukan pengujian undang-undang sebagaimana Perkara No. 78/PUU-X/2012 (dalam pengujian UU 8 Tahun 1981 dan UU Kekuasaan Kehakiman) dan Perkara No. 16/PUU-X/2012 (dalam pengujian UU Kejaksaan, UU Tipikor dan UU KPK), dan dalam kedua perkara tersebut, MK berpendapat bahwa Pemohon selaku advokat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji materi
  1. Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka Pemohon   mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

Alasan-Alasan Permohonan

  1. Bahwa norma-norma a quo yang diuji telah membatasi praperadilan dengan tidak memasukkan “sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, pemblokiran rekening atas permintaan pihak yang dirugikan” dalam pengertian dan objek praperadilan.
  1. Bahwa alasan Pemohon mengapa meminta penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening untuk menjadi objek praperadilan dalam norma-norma aquo karena dalam proses penegakan hukum pidana, upaya paksa yang dilakukan penegak hukum tidak hanya terdiri dari penangkapan dan atau penahanan saja, tetapi juga terdapat upaya paksa lainnya seperti penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening, yang apabila upaya paksa tersebut dilakukan secara sewenang-wenang dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka berpotensi melanggar hak asasi manusia.
  1. Bahwa penggeledahan dan penyitaan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang beritikad baik merupakan upaya paksa yang seharusnya menjadi objek praperadilan karena membatasi hak asasi manusia.
  1. Bahwa pencegahan ke luar negeri merupakan bentuk pembatasan kepada warga negara untuk berpergian ke luar negeri dan dapat dipersamakan dengan penahanan seseorang dalam negara. Pencegahan ke luar negeri merupakan upaya paksa yang membatasi ruang gerak seseorang untuk ke luar negeri, sehingga pihak-pihak yang beritikad baik dan merasa dirugikan atas pencegahan keluar negeri seharusnya bisa mengajukan praperadilan.
  1. Bahwa pemblokiran rekening merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena membatasi seseorang untuk melakukan transaksi. Dalam kegiatan sehari-hari, bisa saja seseorang yang beritikad baik melakukan transaksi keuangan (misalnya transaksi pembangunan atau penjualan rumah) dengan pihak tersangka atau terdakwa. Atas pemblokiran rekening, seharusnya pihak-pihak yang beritikad baik dapat mengajukan permohonan praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya pemblokiran rekening tersebut.
  1. Bahwa UUD 1945 telah memberikan perlindungan hukum dan penghormatan hak asasi manusia terhadap terhadap warga negara supaya pelaksanaan proses hukum dijalankan secara adil (due process of law) dan terbebas dari kesewenang-wenangan serta menjadikan hukum sebagai panglima, sebagaimana tercantum Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.
  1. Bahwa dalam hukum acara pidana seharusnya memuat ketentuan- ketentuan hukum acara yang mencerminkan adanya “due process of law” yang fair, pasti dan adil, jauh dari hal-hal yang bersifat arbiter. Dalam negara hukum, hukumlah yang menjadi panglima, bukan person-person penegak hukum. Inilah yang di Amerika Serikat disebut dengan istilah “the rule of law not rule of man”. Oleh karena itu, apabila ada kesewenang-wenangan penegak hukum dalam melakukan upaya paksa, maka harus ada lembaga praperadilan yang berfungsi untuk mengkontrol tindakan aparat penegak hukum supaya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  1. Bahwa di dalam putusan sebelumnya yakni dalam Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pada dasarnya setiap tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan adalah suatu tindakan perampasan hak asasi manusia, sehingga dengan adanya praperadilan diharapkan pemeriksaan perkara pidana dapat berjalan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
  1. Bahwa dalam hukum acara pidana seharusnya memuat norma-norma yang menyeimbangkan antara kepentingan hukum individu dan kepentingan hukum masyarakat serta negara, karena pada dasarnya dalam hukum pidana, individu dan/atau masyarakat berhadapan langsung dengan negara. Hubungan ini menempatkan individu dan/atau masyarakat pada posisi yang lebih lemah. Dalam hal ini, hukum acara pidana berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum, maupun hakim, dalam proses peradilan pidana terhadap individu dan/atau masyarakat.
  1. Bahwa dengan mengacu pada hak-hak konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, maka ketentuan dalam UU 8/1981 khususnya Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95 dan Pasal 96, yang membatasi pengertian dan objek praperadilan serta belum memberikan perlindungan dan jaminan hukum kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan atas penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri dan pemblokiran rekening untuk mengajukan praperadilan, maka ketentuan dalam UU 8/1981 tidak memenuhi kepastian hukum dan keadilan serta bertentangan dengan UUD 1945.
  1. Bahwa supaya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memberikan jaminan kepastian hukum yang adil, maka Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution perlu memberikan penafsiran terhadap praperadilan dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95 dan Pasal 96 UU 8/1981 untuk dimaknai termasuk pula wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, pemblokiran rekening atas permintaan pihak yang dirugikan”. Menegasikan pengertian dan objek praperadilan dalam menguji “sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, pemblokiran rekening atas permintaan pihak yang dirugikan” merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.

Petitum Pemohon:

Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan:

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95 dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang pengertian praperadilan dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95 dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dimaknai termasuk pula wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, pemblokiran rekening atas permintaan pihak yang dirugikan”;
  3. Menyatakan Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95 dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang pengertian praperadilan dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95 dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tidak dimaknai termasuk pula wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, pemblokiran rekening atas permintaan pihak yang dirugikan”;
  4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Atau jika Majelis Hakim Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Bila ada pertanyaan silakan kontak di 082111528975.

Uji Materi Permenhut Pungutan Penggantian Nilai Tegakan

Pungutan Penggantian Nilai Tegakan (PNT)  = Perampokan

Tax Without Representation = Roberry

Cuma berdasar Permenhut, tapi Gak Diperintahkan UU dan PP, Kok Mau Mungut PNT, Itu Berarti Negara sedang Membegal/Merampok Warga Negara.

Pokok-Pokok Permohonan

  1. Bahwa pokok permohonan yang diajukan oleh Pemohon ditujukan terhadap norma atau pasal yang terkandung didalam Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 antara lain Pasal 1 angka 5, Pasal 28 dan Pasal 29, serta Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011 antara lain Pasal 37 dan Pasal 38, yang mengatur kewajiban pembayaran Penggantian Nilai Tegakan yang ditujukan kepada pemegang HGU dan pelepasan kawasan hutan yang mana penggantian nilai tegakan tersebut dijadikan sebagai salah satu jenis kewajiban PNBP yang wajib dibayar oleh pemegang HGU dan pelepasan kawasan hutan;
  1. Bahwa di dalam perkara yang sejenis yakni dalam Perkara 41P/HUM/2011 tentang Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu dan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.65/Menhut-II/2009 tentang Standar Biaya Produksi Pemanfaatan Kayu pada Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau Penyiapan Lahan Dalam Rangka Pembangunan Hutan Tanaman, yang diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Mahkamah Agung telah membatalkan ketentuan kewajiban pembayaran nilai tegakan kepada Hutan Tanaman Industri karena dianggap prematur mengingat Peraturan Pemerintah maupun Undang-Undang sebagai peraturan perundang-undangan di atasnya tidak mengatur kewajiban pembayaran nilai tegakan sebagai salah satu jenis PNBP;
  1. Bahwa Pertimbangan Majelis Hakim Perkara No. 41P/HUM/2011 dapat dilihat dalam Putusan halaman 40-41 yang selengkapnya sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa implisit hal tersebut diakui oleh Menteri Kehutanan dalam jawabannya pada poin 16, yang pada pokoknya menyatakan :

Dalam rangka menindaklanjuti terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2011 dan No. P.65/Menhut-II/2009, Termohon dengan Surat No. S.423/Menhut-II/Keu/2011 tanggal 3 Juli 2011, dan No. S.526/Menhut-II/ Keu/2011 tanggal 19 Agustus 2011 telah mengajukan usulan kepada Kementerian Keuangan untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dengan memasukkan penggantian nilai tegakan dari pemegang izin pemanfaatan kayu dan atau dari penyiapan lahan dalam pembangunan hutan tanaman kedalam perubahan Peraturan Pemerintah dimaksud;

Menimbang, bahwa kalau dilihat dari jawaban Menteri Kehutanan sebagaimana di kutip di atas, sebenarnya apa yang diatur dalam obyek Hak Uji Materiil (Peraturan Menteri Kehutanan RI. No. P.14/Menhut-II/2011 tanggal 10 Maret 2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu dan Peraturan Menteri Kehutanan RI. No. P.65/Menhut-II/2009 tanggal 19 Oktober 2009 tentang Standard Biaya Produksi Pemanfaatan Kayu Pada Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau Penyiapan Lahan Dalam Rangka Pembangunan Hutan Tanaman) khususnya mengenai kewajiban pembayaran penggantian nilai tegakan dijadikan kewajiban yang wajib dibayar oleh pemegang IUPHHK-HT, adalah pengaturan yang prematur karena masih dalam pengusulan kepada Kementerian Keuangan untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut terbukti bahwa Peraturan Menteri Kehutanan RI. No. P.14/Menhut-II/2011 tanggal 10 Maret 2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu dan Peraturan Menteri Kehutanan RI. No. P.65/Menhut-II/2009 tanggal 19 Oktober 2009 tentang Standard Biaya Produksi Pemanfaatan Kayu Pada Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau Penyiapan Lahan Dalam Rangka Pembangunan Hutan Tanaman (vide Bukti P.1A dan bukti P.1B) bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Undang-Undang Dasar 1945 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak jo. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak jo. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, sehingga harus dibatalkan.”

  1. Bahwa dalam amar Putusan Mahkamah Agung No. 41P/HUM/2011 yang dibacakan oleh Majelis Hakim Prof. Dr. Ahmad Sukardja, SH., MA; Dr. H. Supandi, SH., M.Hum dan Dr. H. Imam Soebechi, SH., MH adalah sebagai berikut:

MENGADILI

  1. Mengabulkan permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Pemohon: Letjend. (Purn.) SUGIONO tersebut untuk sebagian;
  2. Menyatakan Pasal 1 angka 5, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 35, dan Pasal 36 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu yang diundangkan melalui Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No. 142 tanggal 15 Maret 2011, dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.65/Menhut-II/2009 tentang Standard Biaya Produksi Pemanfaatan Kayu pada Izin Pemanfaatan Kayu dan atau Penyiapan Lahan dalam Rangka Pembangunan Hutan Tanaman yang diundangkan melalui Berita Negara Republik Indonesia No. 400 tanggal 21 Oktober 2009, Pasal 1 sampai dengan Pasal 4 beserta lampiran 2 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang PengeIoIaan Barang Milik Negara/Daerah;
  3. Menyatakan Pasal 1 angka 5, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 35, dan Pasal 36 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu dan Pasal 1 sampai dengan Pasal 4 beserta lampiran 2 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.65/Menhut-II/2009 tentang Standard Biaya Produksi Pemanfaatan Kayu pada Izin Pemanfaatan Kayu dan atau Penyiapan Lahan Dalam Rangka Pembangunan Hutan Tanaman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
  4. Memerintahkan Menteri Kehutanan mencabut Pasal 1 angka 5, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 35, dan Pasal 36 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14/Menhut-Il/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu dan Pasal 1 sampai dengan Pasal 4 beserta lampiran 2 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.65/Menhut-II/2009 tentang Standard Biaya Produksi Pemanfaatan Kayu pada lzin Pemanfaatan Kayu dan atau Penyiapan Lahan dalam Rangka Pembangunan Hutan Tanaman;
  5. Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung RI mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara;
  6. Menghukum Termohon keberatan Hak Uji Materiil untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
  1. Bahwa esensi Putusan Mahkamah Agung 41P/HUM/2011 tidak saja ditujukan untuk pembatalan pemberlakuan kewajiban pembayaran nilai tegakan kepada pemegang IUPHHK HTI, tetapi juga ditujukan pembatalan kewajiban pembayaran nilai tegakan kepada pemegang HGU dan pelepasan kawasan hutan, mengingat Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 serta Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011 merupakan pengaturan yang prematur karena kewajiban pembayaran nilai tegakan belum diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan serta masih dalam tahap pengusulan kepada Kementerian Keuangan untuk melakukan revisi. Sampai dengan saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur kewajiban pembayaran nilai tegakan;
  1. Bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 28 dan Pasal 29 Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013, serta Pasal 37 dan Pasal 38 Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011 yang mengatur tentang pembayaran Penggantian Nilai Tegakan yang dibebankan kepada pemegang HGU dan pelepasan kawasan hutan telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi antara lain: Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945; Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; Pasal 1, Pasal 6 dan Lampiran IIA Angka 9 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 jo Peraturan Pemerintah 52 Tahun 1998 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak; Pasal 1 dan Lampiran Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 jo. Peraturan Pemerintah 74 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 1999 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan; Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah; dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
  1. Bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 28 dan Pasal 29 Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 serta Pasal 37 dan Pasal 38 Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011 yang mengatur tentang pembayaran Penggantian Nilai Tegakan yang dibebankan kepada pemegang HGU dan pelepasan kawasan hutan telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi antara lain Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 20 Tahun 1997.
  2. Bahwa berdasarkan Pasal 23A Undang-Undang Dasar, maka setiap pungutan yang bersifat memaksa termasuk PNBP diatur dengan Undang-Undang. Dengan mengacu Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak khususnya ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan (4) serta Pasal 3 ayat (2), maka jika ingin memasukkan penggantian nilai tegakan sebagai salah satu jenis PNBP, terlebih dahulu jenis dan tarif PNBP tersebut ditetapkan terlebih dahulu dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, bukan dalam level Peraturan Menteri sebagaimana diatur Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 dan Permenhut No. P.14/Menhut-lI/2011. Dengan kata lain Termohon sudah melampaui kewenangannya dengan menerbitkan Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 dan Permenhut No. P.14/Menhut-lI/2011 yang secara nyata telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi;
  1. Bahwa sampai dengan pengajuan permohonan uji materi ini, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 jo Peraturan Pemerintah 52 Tahun 1998 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, tidak mencantumkan kewajiban penggantian nilai tegakan sebagai salah satu jenis PNBP:
  2. Bahwa berdasarkan Lampiran IIA angka 9 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 jo Peraturan Pemerintah 52 Tahun 1998, maka dapat dibuktikan bahwa tidak ada Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa penggantian nilai tegakan. Dengan demikian Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 dan Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena dalam lampiran tersebut secara tegas tidak menyebutkan bahwa penggantian nilai tegakan termasuk dalam salah satu komponen PNBP yang wajib ditarik oleh Termohon;
  3. Bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal 28 dan Pasal 29 Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013, serta Pasal 37 dan Pasal 38 Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011 juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 jo. Peraturan Pemerintah 74 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 1999 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan, karena di dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga tidak terdapat tarif penggantian nilai tegakan sebagai salah satu jenis PNBP.
  4. Bahwa dalam Lampiran Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 sebagaimana diubah beberapa kali dalam Peraturan Pemerintah 74 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 1999 tidak terdapat tarif dan jenis penggantian nilai tegakan sebagai salah satu jenis tarif PNBP yang dipungut oleh Kementerian Kehutanan. Oleh karena itulah Termohon (Kementerian Kehutanan) tidak mempunyai kewenangan untuk memungut dana hasil dari penggantian nilai tegakan
  5. Bahwa di dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, dan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional juga tidak terdapat kewajiban pembayaran nilai tegakan sebagai PNBP bagi pemegang HGU.
  6. Bahwa keberadaan Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 dan Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011 khususnya yang mengatur kewajiban pembayaran nilai tegakan sebagai salah satu jenis PNBP bertolak belakang dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1997, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998, karena peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut tidak mencantumkan pembayaran nilai tegakan sebagai jenis PNBP. Dengan demikian Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 dan Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011 telah offside atau mendahului peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
  7. Bahwa berdasarkan dalil-dalil dan bukti-bukti tersebut di atas Pasal 1 angka 5, Pasal 28 dan Pasal 29 Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 serta Pasal 37 dan Pasal 38 Permenhut No. P.14/Menhut-II/2011, bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi in casu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 jo Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 1998 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 jo. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 1999 tentang Tarif dan Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, dan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional sehingga harus dibatalkan.

MA: Jangan bandingkan kami dengan MK

Reporter : Baiquni

Mahkamah Agung mengakui sistem informasi perkara yang ditangani tidak sebaik dengan Mahkamah Konstitusi. Namun MA beralasan, jumlah perkara yang ditangani mereka lebih banyak dari MK.

“Kalau MK kan sidangnya spesial. Di MA kan sidangnya satu-satu. artinya orang datang (ke MK) hanya untuk satu perkara saja. Dan memang sidangnya tidak banyak,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur ketika dihubungi merdeka.com, Selasa (11/9).

Ridwan mengatakan, MA tidak pernah menutupi informasi terkait perjalanan suatu perkara. Termasuk jadwal-jadwal persidangan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali. Demikian juga untuk peradilan tingkat banding.

“Kecuali untuk sidang asusila dan perkara anak-anak, itu semua sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Makanya di persidangan ada jadwal-jadwal. artinya kalau misalnya penasihat hukum ingin hadir dan menanyakan kapan persidangannya itu dibuka, ya, tentunya bisa terbuka untuk umum, bisa didatangi,” imbuh Ridwan.

Dia menyatakan, tidak relevan jika membandingkan sistem informasi perkara antara MA dengan MK. “Jadi kalau kita bandingkan dengan MK, rasanya kok seperti membandingkan sebuah kabupaten dengan Jakarta, kan begitu. Sepertinya ya tidak pas lah,” tukasnya.

Meski begitu, Ridwan mengakui jika idealnya, sistem informasi perkara seperti yang dilakukan MK. “Memang seharusnya seperti MK, tapi kan kenyataannya sidang di MA itu jumlahnya ratusan, bahkan ribuan. Tapi, kalau kita lihat pada sidang tingkat pertama, di mana setiap orang bisa datang dan berhubungan langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan, itu memang bisa dihadiri semua. Sedangkan di MA, kalau seseorang itu memang mengikuti, dia bisa tahu jadwal sidangnya,” pungkasnya.

Sebelumnya, seorang pengacara, Muhamad Zainal Arifin mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi soal pasal 195 Undang-undang (UU) 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu terkandung frasa ‘diucapkan di sidang terbuka untuk umum’ yang mewajibkan lembaga peradilan melaksanakan sidang secara terbuka, terutama untuk sidang putusan.

“Hampir seluruh putusan banding, kasasi, dan peninjauan kembali dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum secara semu karena sidang tersebut hanya dihadiri oleh hakim dan panitera. Masyarakat umum tidak bisa menghadiri putusan tersebut, karena pengadilan tidak terbuka dalam memberikan jadwal putusan,” ujar Arifin saat membacakan permohonan dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (11/9).

(mdk/bai)

Sumber:

http://m.merdeka.com/peristiwa/ma-jangan-bandingkan-kami-dengan-mk.html

Meminta Pertanggungjawaban Pengelola Parkir dan Pihak Asuransi Atas Kehilangan Mobil di Ragunan

Identitas Konsumen (Selaku PENGADU):
Nama                     :  Djoko Santoso
Tempat, tgl lahir     :  Nganjuk, 13 Maret 1961
Warga Negara           :  Indonesia
Pekerjaan                 :  Karyawan swasta
Alamat                     : Permata Hijau Permai Blok G1 No. 9 RT. 003/020 Kel. Kaliabang Tengah, Kec. Bekasi utara, Kota Bekasi

Identitas Pelaku Usaha:
1.    Badan Layanan Umum Daerah Taman Margasatwa Ragunan, yang beralamat di Jl. R.M. Harsono No. 1 Ragunan Jakarta Selatan 12550, Selaku Pengelola Parkir (Selanjutnya disebut TERADU I).

2.    PT. Asuransi Bangun Askrida Kantor Cabang Jakarta, yang beralamat di Jalan Utan Kayu No. 37 Jakarta Timur 13120, Selaku Penanggung Asuransi (Selanjutnya disebut TERADU II)

Adapun yang menjadi dasar hukum disampaikan permohonan penyelesaian ke BPSK adalah sebagai berikut:
1.    Pasal 4 huruf h UU No. 8 Tahun 1999: “Hak konsumen adalah: hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.”
2.    Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 1999: “Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.
3.    Pasal 8 ayat (1) huruf d UU No. 8 Tahun 1999: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut”
4.    Pasal 45 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999: “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.
5.    Pasal 49 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999: “Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan”.
6.    Pasal 1365 KUH Perdata:Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
7.    Pasal 1366 KUH Perdata “Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.
8.    Pasal 1367 KUH Perdata “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
9.    Putusan Mahkamah Agung No. 1966 K/PDT/2005, Putusan No. 124 PK/PDT/2007, Putusan No. 2078 K/Pdt / 2009.

Sedangkan kronologis lengkap sebagai berikut:
1.    Bahwa pada tanggal 13 Juli 2012, PENGADU berekreasi di Taman Margasatwa Ragunan dengan mengendarai Mobil Isuzu Panther dengan Nomor Polisi B 2691 QW. Sebelum memarkirkan mobilnya di area Parkir yang dikelola oleh TERADU I, PENGADU membayar tiket parkir  sebesar Rp.6.500,- dengan perincian biaya parkir kendaraan golongan III Rp.6.000,- dan asuransi kendaraan roda empat dari TERADU II sebesar Rp.500,-. ;

2.    Bahwa di dalam asuransi sebesar Rp 500,- yang dibayarkan kepada TERADU II, terdapat tulisan “PT Asuransi Bangun Askrida memberikan jaminan terhadap Asuransi Kendaraan Bermotor Pengunjung selama berada di area parkir Taman Margasatwa Ragunan”;

3.    Bahwa mobil tersebut diparkir oleh PENGADU di area parkir Taman Margasatwa Ragunan dari Pukul 09.00 Wib s/d 16.00 Wib dan kemudian PENGADU berekreasi dengan keluarga di dalam Taman Margasatwa Ragunan;

4.    Bahwa setelah PENGADU kembali pulang sekitar pukul 16.00 WIB ternyata mobil milik PENGADU sudah tidak ada  di area Parkir Utara Taman Margasatwa Ragunan yang dikelola oleh TERADU I, padahal PENGADU tidak memindahkan atau tidak menyuruh orang lain memindahkan mobil tersebut, hal ini dibuktikan dengan masih dipegang dan dikuasainya Karcis Parkir dengan NO. H.11011883 jenis kendaraan golongan III, kunci mobil serta STNK atas nama PENGADU;

5.    Bahwa setelah mobil PENGADU hilang, kemudian PENGADU berusaha mencari mobil tersebut dan melaporkan kehilangan  tersebut kepada TERADU I yang kemudian diteruskan dengan melapor Polisi Sektor (POLSEK) Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Pukul 19.15 WIB tanggal 13 Juli 2012 yang disertai bukti surat tanda penerimaan laporan Nomor 672/k/VII/2012/Sek.psm;

6.    Bahwa disamping membuat laporan ke POLSEK Pasar Minggu, PENGADU meminta tanggung jawab TERADU I selaku Pengelola Parkir untuk memberikan ganti rugi atas kehilangan mobil seharga mobil tersebut, tetapi justru TERADU I mengalihkan tanggung jawab ke TERADU II selaku penanggung jawab asuransi yang tertera di tiket;

7.    Bahwa seharusnya TERADU I selaku Pengelola parkir Taman Margasatwa Ragunan yang bertanggung jawab akan kehilangan tersebut tetapi sampai hari ini Klien kami tidak mendapatkan hak yang seharusnya diperoleh dan justru TERADU I menyarankan untuk meminta ganti rugi kepada TERADU II selaku penanggung jawab asuransi;

8.    Bahwa setelah menghadap asuransi yakni TERADU II hanya bersedia mengganti atas kehilangan kendaraan PENGADU sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) yang menurut PENGADU tidak jelas dasar penghitungannya;

9.    Bahwa menurut perhitungan PENGADU, mobil Panther Isuzu tahun 2000 masih berharga sekitar Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah), dan atas kehilangan tersebut merupakan tanggung jawab bersama-sama antara TERADU I selaku pengelola parkir dan TERADU II selaku penanggung asuransi;

10.    Bahwa perbuatan TERADU II yang hanya bersedia membayar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) tidak sesuai dengan janji yang ditulis dalam asuransi yang menyatakan “PT Asuransi Bangun Askrida memberikan jaminan terhadap Asuransi Kendaraan Bermotor Pengunjung selama berada di area parkir Taman Margasatwa Ragunan”;

11.    Bahwa perbuatan TERADU II yang tidak memberikan jaminan asuransi secara penuh sebagaimana yang tertuang dalam label atau keterangan dalam asuransi tersebut, melanggar ketentuan  Pasal 8 ayat (1) huruf d UU No. 8 Tahun 1999: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut”. Menurut ketentuan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 menyatakan Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

12.    Bahwa pada tanggal 6 Agustus 2012, PENGADU telah memberikan teguran/somasi kepada TERADU I selaku pihak pengelola parkir yang ditembuskan kepada TERADU II selaku penanggung jawab asuransi untuk menyelesaikan ganti rugi, tetapi pihak TERADU I belum memberikan tanggapan;

13.    Bahwa pada tanggal 11 Septembet 2012, PENGADU juga telah memberikan teguran/somasi kepada TERADU II selaku penanggung jawab asuransi untuk menyelesaikan ganti rugi, tetapi pihak TERADU II belum memberikan tanggapan;

14.    Bahwa berdasarkan ketentuan hukum yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagaimana Putusan Mahkamah Agung No. 1966 K/PDT/2005, Putusan No. 124 PK/PDT/2007, dan Putusan No. 2078 K/Pdt / 2009, menyatakan bahwa Pihak pengelola wajib mengganti rugi keseluruhan atas kehilangan kendaraan di area parkir yang menjadi tanggung jawabnya;

15.    Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, penyebab hilangnya  mobil milik PENGADU di areal parkir yang dikelola oleh TERADU I jelas disebabkan karena kelalaian, kekurang hati-hatian serta perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai/bawahan TERADU I yang berjaga di pintu keluar, yaitu: Pegawai/bawahan TERADU I yang berjaga di pintu keluar telah membiarkan mobil milik Pengugat dibawa keluar areal parkir oleh pihak lain dan tidak memeriksa karcis parkir, STNK yang seharusnya di tunjukkan oleh orang yang ingin membawa mobil keluar dari areal parkir;

16.    Bahwa sudah jelas dan nyata bahwa Pegawai TERADU I yang berjaga di pintu keluar telah membiarkan mobil milik PENGADU dibawa pihak lain ke luar dari areal parkir tanpa menunjukkan karcis parkir ataupun STNK terlihat jelas bahwa pegawai TERADU I telah melakukan kesalahan besar dan fatal sehingga merugikan PENGADU. Perbuatan pegawai TERADU I yang berjaga di pintu keluar, yaitu tidak meneliti dan menyesuaikan terlebih dahulu antara nomor mobil  dengan karcis tanda masuk, serta membiarkan mobil tersebut keluar dari areal parkir adalah merupakan perbuatan melawan hukum dimana unsur – unsur perbuatan melawan hukumnya telah terbukti;

17.    Bahwa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan PARA TERADU, PENGADU mengalami kerugian yang secara nyata yaitu hilangnya mobil PENGADU, merupakan  kendaraan yang sehari-hari digunakan untuk bekerja, dan akibat hilangnya mobil tersebut PENGADU harus mengeluarkan biaya untuk kendaraan umum untuk menjalankan aktifitasnya sebagai karyawan yang rinciannya adalah sebagai berikut:

Kehilangan Mobil Isuzu Panther Tahun 2000    Rp 110.000.000,-
Kerugian biaya transportasi (mulai 14 Juli 2012-24 Sept 2012)
73 hari x Rp 100.000,-    Rp    7.300.000,-
Total    Rp 117.300.000,-

Demikian kronologis ini, Kami buat dengan sebenarnya. Atas perhatiannya, Kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami
Kuasa Hukum Djoko Santoso
Dr. Sadino & PARTNERS

Muhamad Zainal Arifin.,SH.

Permohonan Perkara No. 78/PUU-X/2012 – Menggugat Ketertutupan Sidang Terbuka Untuk Umum

Image

Jakarta, 10 September 2012

Kepada Yang Mulia
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6
Jakarta 10110

Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 195, Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama    :    Muhamad Zainal Arifin S.H.
Tempat, tanggal lahir    :    Surabaya, 28 Februari 1983
Agama    :    Islam
Pekerjaan    :    Advokat
Kewarganegaraan    :    Indonesia
NIK    :    3578172802830002
Alamat Lengkap    :    Jl. Tambak Wedi Baru XV-A/21 Surabaya
Email    :     zainal.arifin83@gmail.com
HP    :     081-803 160416
Telp    :     021-574 7051

yang dalam hal ini bertindak dalam kapasitasnya selaku Perorangan (untuk selanjutnya akan disebut sebagai “Pemohon ”). Dan untuk selanjutnya memilih domisili hukum di:
Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Ruang 910 B, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Pusat 10270, Telp/Fax: 021-574 7051, HP 081-803 160416.

Untuk mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 195, Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Selanjutnya disebut “KUHAP”) dan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Selanjutnya disebut “UU 48/2009”) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut “UUD 1945”).

Sebelum melanjutkan pada uraian tentang permohonan beserta alasan-alasannya, Pemohon terlebih dahulu menguraikan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dan kedudukan hukum / legal standing Pemohon sebagai berikut:

I.    Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1.    Bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut “MK”) adalah melakukan pengujian undang-undang  terhadap UUD 1945:
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,…”

2.    Bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut “UU MK”) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a UU 48/2009, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

3.    Bahwa yang menjadi obyek permohonan pengujian adalah Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, dan Pasal 199 (2) KUHAP.
Pasal 195 KUHAP:
“Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”.

Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009:
“Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.

Pasal 197 ayat (2) KUHAP
“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP
“Kecuali yang tersebut pada huruf a,e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.”

Pasal 199 ayat (2) KUHAP:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini”.

4.    Bahwa batu uji dari pengujian undang-undang dalam perkara a quo adalah Pasal-Pasal yang ada dalam UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3):
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Pasal 28F:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

5.    Bahwa batu uji pengujian Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 adalah ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Sedangkan batu uji pengujian Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan Pasal 199 (2) KUHAP adalah ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

6.    Bahwa karena permohonan Pemohon adalah menguji Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, dan Pasal 199 (2) KUHAP terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan MK, maka MK berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini.

II.   Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
1.    Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a.  Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan     perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.   Badan hukum publik atau privat; atau
d.  Lembaga negara.

Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan :
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.    Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, perorangan warga negara Indonesia dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan identitas Pemohon yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, dan Pasal 199 (2) KUHAP;

3.    Bahwa merujuk kepada Putusan MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007, berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a.    Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.    Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c.    Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.    Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e.    Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

4.    Bahwa di samping itu, dalam praktek pengujian undang-undang sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, dan Putusan MK Nomor 81/PUU-IX/2011, MK menerapkan syarat legal standing seorang pembayar pajak dalam pengujian undang-undang yakni pembayar pajak dari  berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain. Bahkan di dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, MK menerima legal standing seorang advokat dalam menguji Undang-Undang Mahkamah Agung, karena seorang advokat dalam profesinya akan banyak berhubungan dengan Mahkamah Agung oleh karenanya secara langsung memerlukan kepastian hukum atas segala hal yang berhubungan dengan lembaga Mahkamah Agung (Lihat Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 halaman 68-69);

5.    Bahwa sebagai warga negara pembayar pajak yang berprofesi sebagai advokat dan aktif mendorong perwujudan nilai-nilai negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemohon memiliki kepentingan konstitusional agar norma-norma hukum yang mengatur cabang-cabang kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, dan Pasal 199 (2) KUHAP mempunyai nilai kepastian hukum;

Legal Standing Pengujian Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009

6.    Bahwa untuk pengujian Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 khusus frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum”, selama ini berkembang penafsiran di kalangan hakim bahwa frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” adalah bahwa dalam pembacaan putusan harus terdapat irah-irah atau pernyataan putusan dibacakan di dalam sidang terbuka untuk umum, tanpa memperdulikan apakah dalam pembacaan putusan, masyarakat umum mengetahui jadwal pembacaan putusan sehingga bisa menghadiri pembacaan putusan tersebut;

7.    Bahwa dengan adanya pemahaman makna dari frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dimana diartikan dalam putusan harus terdapat irah-irah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, maka mengakibatkan masyarakat kesulitan untuk mengakses pembacaan putusan khususnya Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, karena dalam praktek selama ini Hakim Pengadilan hanya mengutamakan sisi formalistik pembacaan putusan dengan hanya menyebutkan “sidang terbuka untuk umum” tanpa memperdulikan keterbukaan jadwal pembacaan putusan. Di dalam setiap putusan selalu terdapat irah-irah “diucapkan di sidang terbuka untuk umum”, tetapi secara riil putusan tersebut dibacakan dalam sidang tertutup yang hanya dihadiri oleh Hakim dan Panitera, karena masyarakat tidak mengetahui jadwal pembacaan putusan. Bagaimana mungkin masyarakat umum bisa menghadiri pembacaan putusan, jika pengadilan khususnya dalam tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali tidak pernah memberikan pengumuman secara terbuka perihal jadwal pembacaan putusan;

8.    Bahwa sebagai warga negara, Pemohon mempunyai hak yang dilindungi oleh Pasal 28F UUD 1945 untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, salah satunya hak untuk mengetahui putusan secara aktual dengan menghadiri pembacaan putusan. Selama ini pembacaan putusan banding, kasasi dan peninjauan kembali selalu dilakukan secara tertutup karena Hakim Pengadilan memaknai   frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum”  sebagaimana diatur dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 hanya memberikan kewajiban menyampaikan irah-irah “diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”;

9.    Bahwa di samping itu, Pemohon yang pekerjaannya sebagai Advokat akan selalu berhubungan dengan Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali dalam kasus pidana dan perdata, ingin hadir dalam sidang pembacaan putusan tersebut guna mengetahui lebih awal dan memberikan upaya hukum yang terbaik bagi kliennya. Namun, Hakim atau Panitera Pengganti tidak pernah memberitahukan jadwal pembacaan putusan. Oleh karena itu, Pemohon mempunyai kepentingan hukum untuk mempertanyakan maksud dari frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum”  yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, apakah hanya memberikan kewajiban irah-irah diucapkan di sidang terbuka untuk umum atau harus ada kewajiban pengumuman jadwal putusan kepada masyarakat umum sehingga bagi pihak yang ingin mengetahui secara aktual isi putusan pengadilan dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut;

Legal Standing Pengujian Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP

10.    Bahwa untuk pengujian Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP, sebagai seorang advokat, pekerjaan Pemohon selalu berhubungan dengan berbagai putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) KUHAP. Oleh karena itu, jika terjadi putusan batal demi hukum yang menimpa klien Pemohon, maka Pemohon merasa galau dan bingung untuk menjelaskan apa makna dan upaya hukum terhadap putusan batal demi hukum tersebut;

11.    Bahwa khusus untuk pengujian Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP perihal putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum, disebabkan Pemohon ingin mendapatkan makna putusan batal demi hukum, sebagai dasar mengajukan upaya hukum Praperadilan terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Kasus Sisminbakum yang akan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebagai tax payer, Pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan praperadilan terhadap SP3 kasus-kasus korupsi karena pajak-pajak yang telah dibayarkan Pemohon digunakan untuk menutupi kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Penafsiran putusan batal demi hukum tersebut mempunyai nilai strategis bagi Pemohon untuk memperkuat dalil-dalil Pemohon dalam mengajukan upaya hukum praperadilan tersebut;

12.    Bahwa menurut hemat Pemohon, penerbitan SP3 Kasus Sisminbakum tersebut tidak berdasar karena Putusan Mahkamah Agung No. 591 K/Pid.Sus/2010 tanggal 21 Desember 2010 An. Terdakwa Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH. LLM dan Putusan Mahkamah Agung No. 102/PK/Pidsus/2011 a.n. Terpidana Yohanes Waworuntu yang dijadikan landasan keluarnya SP3 merupakan putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP;

13.    Bahwa di dalam KUHAP, tidak ada penjelasan tentang putusan batal demi hukum, sehingga makna dari frasa putusan batal demi hukum menjadi tidak pasti;

14.    Bahwa jika Pemohon tidak meminta penafsiran terhadap  putusan batal demi hukum yang terkandung dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP, maka ada kemungkinan besar upaya hukum praperadilan terhadap SP3 Sisminbakum akan ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri karena tidak ada tafsir resmi tentang makna putusan batal demi hukum;

15.    Bahwa untuk mempersamakan persepsi makna putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP, maka perlu dilakukan uji materi terhadap ketentuan tersebut supaya terdapat kepastian hukum;

16.    Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka  Pemohon   sebagai Warga Negara Indonesia, benar-benar telah dirugikan hak konstitusionalnya. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing)  Pemohon telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

III. Alasan-Alasan Pengujian Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP

A. Pemaknaan Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 Khusus Frasa “Diucapkan Di Sidang Terbuka Untuk Umum” yang Dimaknai Bahwa Dalam Pembacaan Putusan Harus Terdapat Irah-Irah “Diucapkan Di Sidang Terbuka Untuk Umum” Tanpa Ada Kewajiban Memberikan Pengumuman Jadwal Pembacaan Putusan Kepada Masyarakat, Mengakibatkan Akses Masyarakat Untuk Menghadiri Pembacaan Putusan Terhambat, Karena Tidak Ada Keterbukaan Jadwal Pembacaan Putusan

1.    Bahwa Pasal 195 KUHAP menyatakan “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 yang menyatakan “Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum” tetapi hampir seluruh Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum secara semu karena sidang tersebut hanya dihadiri oleh Hakim dan Panitera. Masyarakat umum tidak bisa menghadiri putusan tersebut, karena Pengadilan tidak terbuka dalam memberikan jadwal putusan kepada masyarakat;

2.    Bahwa selama ini berkembang penafsiran di kalangan hakim bahwa frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” diartikan dalam pembacaan putusan harus terdapat irah-irah atau pernyataan putusan dibacakan di dalam sidang terbuka untuk umum, tanpa memperdulikan apakah dalam pembacaan putusan masyarakat umum mengetahui jadwal pembacaan putusan sehingga bisa menghadiri pembacaan putusan tersebut;

3.    Bahwa dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 seharusnya mempersyaratkan bahwa semua putusan pengadilan baik itu tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang terbuka umum dimana diumumkan secara terbuka kepada masyarakat umum perihal jadwal pembacaan putusan. Persidangan yang dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan bentuk  tradisional dari transparansi di lingkungan peradilan. Prinsip pengadilan yang terbuka ini telah menjadi salah satu prinsip pokok dalam sistem peradilan di dunia. Dari perspektif lain, keterbukaan  ini  merupakan  kunci lahirnya akuntabilitas. Hakim dan pegawai pengadilan akan lebih bersunggung-sungguh dan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, karena publik bisa mengakses hasil kerjanya. Dalam konteks putusan pengadilan, prinsip keterbukaan ini akan mendorong lahirnya putusan yang berkualitas dan mencerminkan rasa keadilan;

4.    Bahwa sebagai warga negara, Pemohon mempunyai hak yang dilindungi oleh Pasal 28F UUD 1945 untuk mendapatkan informasi teraktual tidak terbatas pada pembacaan putusan pengadilan, tetapi selama ini pembacaan putusan banding, kasasi dan peninjauan kembali selalu dilakukan secara tertutup;

5.    Bahwa putusan  pengadilan merupakan pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diucapkan dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan  sengketa  di antara para pihak. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan  putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili yang mengandung legal justice, moral justice dan social justice. Argumen tersebut sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya  kepada Tuhan Yang Maha Esa, pencari keadilan, masyarakat,   pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum. Karena putusan mengandung pertanggung-jawaban maka  acara pembacaan  putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka  untuk umum;

6.    Bahwa dalam praktek peradilan selama ini, masyarakat umum yang tidak mempunyai akses ke kepaniteraan, baru mengetahui adanya putusan tidak seketika itu juga ketika putusan dibacakan karena diakibatkan oleh birokrasi kepaniteraan di Pengadilan. Adanya jeda  waktu yang panjang antara pembacaan putusan dan penyampaian putusan kepada Para Pihak menimbulkan ketidakpastian hukum karena seharusnya mereka mengetahui Putusan sejak Putusan tersebut dibacakan, untuk mengambil langkah-langkah hukum yang terbaik untuk dirinya. Adanya jeda  waktu menimbulkan “keadilan yang tertunda”, khususnya bagi Terdakwa atau Terpidana  yang diputus bebas atau lepas. Oleh karena itu supaya frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, maka harus dimaknai “Sebelum pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan secara terbuka kepada masyarakat umum dan pihak-pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan supaya masyarakat umum yang ingin mengetahui putusan pengadilan secara aktual dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut”.
B. Putusan Bukan Pemidanaan yang Batal Demi Hukum Sebagaimana Diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP mengandung Ketidakpastian Hukum baik Bagi Terdakwa/Terpidana, Korban Maupun Pihak-Pihak yang Merasa Dirugikan
1.    Bahwa Pasal 199 KUHAP menyatakan:
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat :
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;
b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika Ia ditahan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini.

2.    Bahwa ketentuan Pasal 199 KUHAP mempunyai keterkaitan dengan Pasal 197 KUHAP yang menyatakan:
(1)  Surat putusan pemidanaan memuat:
a.   kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.   nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.   dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.   pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e.   tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.    pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.   hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h.   pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i.    ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j.    keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.   perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.    hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP
“Kecuali yang tersebut pada huruf a,e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.”

3.    Bahwa jika Pasal 199 ayat (2) KUHAP dikaitkan dengan Pasal 197 KUHAP, maka putusan bukan pemidanaan menjadi putusan batal demi hukum jika tidak terdapat ketentuan:
b.  nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.   dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.   pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
j.    keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.   perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.    hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
4.    Bahwa setelah dibandingkan dengan persyaratan putusan bukan pemidanaan sebagaimana dijelaskan di atas, Putusan Mahkamah Agung No. 591 K/Pid.Sus/2010 a.n. Prof. Dr. Romli Atmasasmita dan Putusan Mahkamah Agung No. 102/PK/Pidsus/2011 a.n. Yohanes Waworuntu merupakan putusan bukan pemidaan yang batal demi hukum karena tidak mencantumkan  syarat yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 199 ayat (1) KUHAP;

5.    Bahwa adanya ketentuan putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Terdakwa/Terpidana, karena status hukumnya menjadi tidak jelas apakah dibebaskan atau dilepaskan sebagaimana yang ada dalam Putusan, atau mengikuti Putusan sebelumnya karena putusan bukan pemidanaan tersebut dianggap batal demi hukum;

6.    Begitu juga bagi korban atau pihak-pihak yang merasa dirugikan  atas putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum tersebut juga mengalami ketidakpastian hukum sebagaimana dialami Pemohon. Yang menjadi pertanyaan bagi korban atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan adalah bagaimana akibat hukum putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum terhadap perkara lain yang mempunyai kaitan dengan perkara tersebut? Apakah putusan tersebut masih dapat digunakan sebagai dasar rujukan bagi perkara lain untuk dikeluarkan SP3, mengingat Putusan tersebut batal demi hukum?

7.    Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa  Indonesia adalah negara hukum. Adapun ciri-ciri sebagai negara hukum yaitu diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil;

8.    Bahwa secara  yuridis UUD 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945  menyediakan  instrumen berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;

9.    Bahwa pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud di atas juga mencakup pengakuan, jaminan, dan perlindungan atas asas-asas hukum yang berlaku universal. Salah satu asas hukum yang  diakui eksistensinya dalam sistem hukum Indonesia adalah kepastian hukum;

10.    Bahwa selama ini pengertian putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan maupun Memorie van Toelichting. Menurut Ahli Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H., M.Sc, menyatakan “Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum” (Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc, “Pendapat Hukum terhadap Putusan Batal Demi Hukum”, 15 Mei 2012, diakses di http://yusril.ihzamahendra.com).

11.    Bahwa supaya terdapat kepastian hukum bagi Para Pihak perihal putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP, maka harus ada penafsiran tentang makna dan ukuran putusan batal demi hukum tersebut, supaya putusan tersebut menjadi pasti.

C. Putusan Pemidanaan yang Batal Demi Hukum sebagaimana Diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP Menimbulkan Ketidakpastian Hukum Bagi Terpidana, Aparat Penegak Hukum, Korban Maupun Pihak-Pihak yang Merasa Dirugikan
1.    Bahwa putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Terpidana, apakah harus menjalani hukuman atau harus bebas, mengingat di dalam Putusan tersebut tidak ada perintah ditahan ataupun Poin-Poin lain yang ada dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengakibatkan putusan batal demi hukum;

2.    Bahwa putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakpastian hukum bagi jaksa yang akan melakukan eksekusi, karena bisa dilaporkan dengan tindak pidana merampas kemerdekaan orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 333 KUHP, karena menahan seseorang atas dasar putusan batal demi hukum;

3.    Bahwa putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakadilan bagi korban atau pihak-pihak yang merasa dirugikan, karena seharusnya Terpidana menjalani hukuman. Namun nyatanya, Terpidana tak kunjung dieksekusi dan melakukan perlawanan karena menganggap Putusannya batal demi hukum.

4.    Bahwa supaya terdapat kepastian hukum bagi Para Pihak perihal putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, maka harus ada penafsiran tentang makna dan ukuran putusan batal demi hukum tersebut.

IV. Petitum
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan:
1.    Menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya;

2.    Menyatakan Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 konstitusional bersyarat, sepanjang frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dimaknai bahwa “Sebelum pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan secara terbuka kepada masyarakat umum dan pihak-pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan supaya masyarakat umum yang ingin mengetahui putusan pengadilan secara aktual dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut”.

3.    Menyatakan Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dimaknai “Sebelum pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan secara terbuka kepada masyarakat umum dan pihak-pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan supaya masyarakat umum yang ingin mengetahui putusan pengadilan secara aktual dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut”.

4.    Memberikan penafsiran putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP supaya sesuai dengan UUD 1945.

5.    Memberikan penafsiran putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP supaya mempunyai kekuatan hukum mengikat.

6.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Jika Majelis Hakim Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Hormat Pemohon,

Muhamad Zainal Arifin S.H.

Ketika transparansi peradilan digugat ke MK

Reporter : Baiquni

Sudah bukan rahasia lagi jika peradilan tingkat banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali, tidak pernah mengungkapkan jadwal persidangan dan putusan. Bagi masyarakat yang kesulitan mendapat akses, putusan yang dibuat peradilan bahkan baru diketahui beberapa bulan kemudian.

Praktik ini seringkali mempersulit pihak yang berperkara. Bahkan karena proses masa tunggu persidangan di tingkat Mahkamah Agung yang begitu lama, para pihak yang berperkara sudah lupa dengan kasusnya.

Hal inilah yang menjadi keprihatinan seorang pengacara, Muhamad Zainal Arifin. Dia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang diujinya adalah pasal 195 Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal itu terkandung frasa ‘diucapkan di sidang terbuka untuk umum’ yang mewajibkan lembaga peradilan melaksanakan sidang secara terbuka, terutama untuk sidang putusan.

“Hampir seluruh putusan banding, kasasi, dan peninjauan kembali dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum secara semu karena sidang tersebut hanya dihadiri oleh hakim dan panitera. Masyarakat umum tidak bisa menghadiri putusan tersebut, karena pengadilan tidak terbuka dalam memberikan jadwal putusan,” ujar Arifin saat membacakan permohonan dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (11/9).

Arifin mengatakan, selama ini banyak masyarakat yang tidak mengetahui adanya putusan terkait perkara mereka. Masyarakat hanya dapat mengetahui adanya putusan apabila memiliki akses ke kepaniteraan. “Bagaimana mungkin masyarakat umum bisa menghadiri pembacaan putusan, jika pengadilan dalam tingkat banding, kasasi dan PK tidak pernah memberikan pengumuman secara terbuka perihal jadwal putusan,” imbuh Arifin.

Arifin berharap langkah yang ditempuhnya dapat menjadi momentum perbaikan bagi lembaga peradilan umum. “Ke depan, kita juga tidak ingin ada putusan yang sudah dijatuhkan lama, tetapi para pihak baru mengetahui putusan itu dua tahun sesudahnya,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur yang dikonfirmasi merdeka.com secara terpisah mengatakan, MA tidak pernah menutup-tutupi akses bagi pihak berperkara untuk mengetahui jalannya persidangan.

“Tanyakan saja, sebutkan nomor perkaranya, nanti bisa dilacak dan bisa dilihat kapan jadwal sidang selanjutnya,” ujarnya.

Soal jadwal persidangan yang tidak jelas atau dicantumkan dalam website misalnya, Ridwan berkelit, saat ini MA memang sedang merancang sistem informasi yang menjelaskan jalannya perkara kepada publik.

“Tapi karena memang perkaranya sangat banyak, saat ini masih putusan-putusannya saja. Tetapi, siapapun yang ingin tahu sidangnya, ya ditanyakan saja kapan putusnya, dan diusahakan bisa datang,” pungkasnya.

(mdk/bai)

Sumber:

http://m.merdeka.com/peristiwa/ketika-transparansi-peradilan-digugat-ke-mk.html

Menanti MA Kembali Menggelar Sidang Terbuka untuk Umum

Andi Saputra – detikNews

Jakarta Masyarakat hampir setiap hari disuguhi pemberitaan sidang di pengadilan tingkat pertama. Namun apakah masyarakat pernah melihat proses sidang di tingkat banding dan Mahkamah Agung (MA)? Gara-gara proses ini tidak transparan, Muhamad Zainal Arifin menggugat KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman.

Pria yang sehari-hari bekerja sebagai advokat ini memohon Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan sidang di semua tingkatan peradilan harus benar-benar terbuka untuk umum dalam arti sebenarnya.

Dalam catatan detikcom, Rabu (12/9/2012) seperti dikutip dalam buku ‘Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung’ karya Sebastian Pompe, sidang yang benar-benar bisa diikuti masyarakat umum pernah dilakukan saat MA dibawah kepemimpinan Subekti pada 1968-1974. Yaitu dengan para hakim mengenakan toga dan para pengacara diizinkan hadir. Pada era Ketua MA Seno Adji, praktek ini dilakukan secara pilih-pilih yaitu hanya untuk kasus-kasus menarik perhatian publik saja.

Praktek ini lalu dihentikan pada masa Ketua MA Mudjono pada 1981, ketika banyak hakim menganggap hal itu mustahil dilakukan. Alasan MA sederhana yaitu hanya ada satu aula besar yang cuma dipakai untuk keperluan-keperluan seremonial. Akibatnya para hakim terpaksa mengumumkan vonis secara resmi di ruangan mereka masing-masing. Biasanya dilakukan di ruang ketua Tim.

Peristiwa itu dilambangkan terbuka untuk umum sebagaimana ditetapkan UU dengan membuka pintu yang terbuka yang menghadap ke koridor. Dalam musyawarah itu, para hakim tidak mengenakan toga, hanya duduk mengitari meja dan memeriksa perkara, mengumumkan putusan mereka.

Lalu apakah pembacaan putusan di ruang Ketua Tim ini bisa dihadiri pihak luar? Sepanjang catatan detikcom hingga hari ini, pengumuman itu tidak bisa diikuti oleh orang luar.

Menurut Ketua Komisi Yudisial (KY) saat itu, Busyro Muqoddas, sidang terbuka untuk umum dalam arti sebenarnya pernah dihidupkan lagi oleh Ketua MA, Bagir Manan pada kasus Akbar Tanjung.

“Ini saya pikir, bisa dicontoh. Karena salah satu prinsip hakim adalah publisitas,” kata Busyro Muqodas kepada wartawan pada awal 2010 lalu mengomentari ketertutupan MA.

Namun setelah itu, kembali sidang terbuka untuk umum tidak diteruskan oleh penerus Bagir Manan. Baik Harifin Tumpa atau Ketua MA saat ini, Hatta Ali.

(asp/try)

Sumber:

http://news.detik.com/read/2012/09/12/092342/2015548/10/menanti-ma-kembali-menggelar-sidang-terbuka-untuk-umum

Proses Sidang Putusan MA Tidak Transparan, KUHAP Digugat ke MK

Ganessa Alfath – detikNews

Jakarta Gara-gara proses putusan peradilan tingkat banding dan Mahkamah Agung (MA) tidak transparan, Muhamad Zainal Arifin menggugat KUHAP. Menurutnya hal tersebut bertentangan dengan pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk memperoleh informasi serta berhak untuk mencari dan memperoleh informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

“Selama ini hampir seluruh putusan banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK) itu dilakukan diam-diam dengan kata lain ‘dalam sidang terbuka untuk umum secara semu’. Kenyatannya sidang tersebut hanya dihadiri oleh hakim dan panitera,” kata Zainal kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (11/9/2012)

Pasal-pasal yang digugat yakni Pasal 195, pasal 197 ayat 2 dan pasal 199 ayat 2 UU No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 13 ayat 2 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Zainal meminta MA memberitahukan para pihak sebelum pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut.

“Seandainya ini dikabulkan oleh MK, maka pasal terkait harus dimaknai harus ada keterbukaan jadwal pembacaan putusan, otomatis masyarakat bisa tahu hari ini ada sidang,” tambah pria yang berprofesi sebagai advokat tersebut.

Ia menambahkan bahwa berdasarkan pasal 28F UUD 1945 setiap warga negara berhak untuk mendapatkan informasi termasuk salah satunya mengadiri putusan Banding, Kasasi dan PK. Persidangan yang dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan bentuk transparasi di lingkungan peradilan dan kunci lahirnya akuntabilitas.

“Saya ingin putusan-putusan di lembaga peradilan dapat meniru MK, ini ada keterbukaan,” tandas Arifin.

(asp/mad)

Sumber:

http://news.detik.com/read/2012/09/11/170018/2015049/10/proses-sidang-putusan-ma-tidak-transparan-kuhap-digugat-ke-mk?nd771108bcj