Jakarta, 10 September 2012
Kepada Yang Mulia
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6
Jakarta 10110
Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 195, Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhamad Zainal Arifin S.H.
Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 28 Februari 1983
Agama : Islam
Pekerjaan : Advokat
Kewarganegaraan : Indonesia
NIK : 3578172802830002
Alamat Lengkap : Jl. Tambak Wedi Baru XV-A/21 Surabaya
Email : zainal.arifin83@gmail.com
HP : 081-803 160416
Telp : 021-574 7051
yang dalam hal ini bertindak dalam kapasitasnya selaku Perorangan (untuk selanjutnya akan disebut sebagai “Pemohon ”). Dan untuk selanjutnya memilih domisili hukum di:
Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Ruang 910 B, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Pusat 10270, Telp/Fax: 021-574 7051, HP 081-803 160416.
Untuk mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 195, Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Selanjutnya disebut “KUHAP”) dan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Selanjutnya disebut “UU 48/2009”) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut “UUD 1945”).
Sebelum melanjutkan pada uraian tentang permohonan beserta alasan-alasannya, Pemohon terlebih dahulu menguraikan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dan kedudukan hukum / legal standing Pemohon sebagai berikut:
I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut “MK”) adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945:
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,…”
2. Bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut “UU MK”) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a UU 48/2009, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
3. Bahwa yang menjadi obyek permohonan pengujian adalah Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, dan Pasal 199 (2) KUHAP.
Pasal 195 KUHAP:
“Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”.
Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009:
“Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Pasal 197 ayat (2) KUHAP
“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP
“Kecuali yang tersebut pada huruf a,e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.”
Pasal 199 ayat (2) KUHAP:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini”.
4. Bahwa batu uji dari pengujian undang-undang dalam perkara a quo adalah Pasal-Pasal yang ada dalam UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3):
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pasal 28F:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
5. Bahwa batu uji pengujian Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 adalah ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Sedangkan batu uji pengujian Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan Pasal 199 (2) KUHAP adalah ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
6. Bahwa karena permohonan Pemohon adalah menguji Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, dan Pasal 199 (2) KUHAP terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan MK, maka MK berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini.
II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan :
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, perorangan warga negara Indonesia dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan identitas Pemohon yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, dan Pasal 199 (2) KUHAP;
3. Bahwa merujuk kepada Putusan MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007, berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
4. Bahwa di samping itu, dalam praktek pengujian undang-undang sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, dan Putusan MK Nomor 81/PUU-IX/2011, MK menerapkan syarat legal standing seorang pembayar pajak dalam pengujian undang-undang yakni pembayar pajak dari berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain. Bahkan di dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, MK menerima legal standing seorang advokat dalam menguji Undang-Undang Mahkamah Agung, karena seorang advokat dalam profesinya akan banyak berhubungan dengan Mahkamah Agung oleh karenanya secara langsung memerlukan kepastian hukum atas segala hal yang berhubungan dengan lembaga Mahkamah Agung (Lihat Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 halaman 68-69);
5. Bahwa sebagai warga negara pembayar pajak yang berprofesi sebagai advokat dan aktif mendorong perwujudan nilai-nilai negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemohon memiliki kepentingan konstitusional agar norma-norma hukum yang mengatur cabang-cabang kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP, dan Pasal 199 (2) KUHAP mempunyai nilai kepastian hukum;
Legal Standing Pengujian Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009
6. Bahwa untuk pengujian Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 khusus frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum”, selama ini berkembang penafsiran di kalangan hakim bahwa frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” adalah bahwa dalam pembacaan putusan harus terdapat irah-irah atau pernyataan putusan dibacakan di dalam sidang terbuka untuk umum, tanpa memperdulikan apakah dalam pembacaan putusan, masyarakat umum mengetahui jadwal pembacaan putusan sehingga bisa menghadiri pembacaan putusan tersebut;
7. Bahwa dengan adanya pemahaman makna dari frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dimana diartikan dalam putusan harus terdapat irah-irah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, maka mengakibatkan masyarakat kesulitan untuk mengakses pembacaan putusan khususnya Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, karena dalam praktek selama ini Hakim Pengadilan hanya mengutamakan sisi formalistik pembacaan putusan dengan hanya menyebutkan “sidang terbuka untuk umum” tanpa memperdulikan keterbukaan jadwal pembacaan putusan. Di dalam setiap putusan selalu terdapat irah-irah “diucapkan di sidang terbuka untuk umum”, tetapi secara riil putusan tersebut dibacakan dalam sidang tertutup yang hanya dihadiri oleh Hakim dan Panitera, karena masyarakat tidak mengetahui jadwal pembacaan putusan. Bagaimana mungkin masyarakat umum bisa menghadiri pembacaan putusan, jika pengadilan khususnya dalam tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali tidak pernah memberikan pengumuman secara terbuka perihal jadwal pembacaan putusan;
8. Bahwa sebagai warga negara, Pemohon mempunyai hak yang dilindungi oleh Pasal 28F UUD 1945 untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, salah satunya hak untuk mengetahui putusan secara aktual dengan menghadiri pembacaan putusan. Selama ini pembacaan putusan banding, kasasi dan peninjauan kembali selalu dilakukan secara tertutup karena Hakim Pengadilan memaknai frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” sebagaimana diatur dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 hanya memberikan kewajiban menyampaikan irah-irah “diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”;
9. Bahwa di samping itu, Pemohon yang pekerjaannya sebagai Advokat akan selalu berhubungan dengan Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali dalam kasus pidana dan perdata, ingin hadir dalam sidang pembacaan putusan tersebut guna mengetahui lebih awal dan memberikan upaya hukum yang terbaik bagi kliennya. Namun, Hakim atau Panitera Pengganti tidak pernah memberitahukan jadwal pembacaan putusan. Oleh karena itu, Pemohon mempunyai kepentingan hukum untuk mempertanyakan maksud dari frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, apakah hanya memberikan kewajiban irah-irah diucapkan di sidang terbuka untuk umum atau harus ada kewajiban pengumuman jadwal putusan kepada masyarakat umum sehingga bagi pihak yang ingin mengetahui secara aktual isi putusan pengadilan dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut;
Legal Standing Pengujian Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP
10. Bahwa untuk pengujian Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP, sebagai seorang advokat, pekerjaan Pemohon selalu berhubungan dengan berbagai putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) KUHAP. Oleh karena itu, jika terjadi putusan batal demi hukum yang menimpa klien Pemohon, maka Pemohon merasa galau dan bingung untuk menjelaskan apa makna dan upaya hukum terhadap putusan batal demi hukum tersebut;
11. Bahwa khusus untuk pengujian Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP perihal putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum, disebabkan Pemohon ingin mendapatkan makna putusan batal demi hukum, sebagai dasar mengajukan upaya hukum Praperadilan terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Kasus Sisminbakum yang akan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebagai tax payer, Pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan praperadilan terhadap SP3 kasus-kasus korupsi karena pajak-pajak yang telah dibayarkan Pemohon digunakan untuk menutupi kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Penafsiran putusan batal demi hukum tersebut mempunyai nilai strategis bagi Pemohon untuk memperkuat dalil-dalil Pemohon dalam mengajukan upaya hukum praperadilan tersebut;
12. Bahwa menurut hemat Pemohon, penerbitan SP3 Kasus Sisminbakum tersebut tidak berdasar karena Putusan Mahkamah Agung No. 591 K/Pid.Sus/2010 tanggal 21 Desember 2010 An. Terdakwa Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH. LLM dan Putusan Mahkamah Agung No. 102/PK/Pidsus/2011 a.n. Terpidana Yohanes Waworuntu yang dijadikan landasan keluarnya SP3 merupakan putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP;
13. Bahwa di dalam KUHAP, tidak ada penjelasan tentang putusan batal demi hukum, sehingga makna dari frasa putusan batal demi hukum menjadi tidak pasti;
14. Bahwa jika Pemohon tidak meminta penafsiran terhadap putusan batal demi hukum yang terkandung dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP, maka ada kemungkinan besar upaya hukum praperadilan terhadap SP3 Sisminbakum akan ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri karena tidak ada tafsir resmi tentang makna putusan batal demi hukum;
15. Bahwa untuk mempersamakan persepsi makna putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP, maka perlu dilakukan uji materi terhadap ketentuan tersebut supaya terdapat kepastian hukum;
16. Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia, benar-benar telah dirugikan hak konstitusionalnya. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.
III. Alasan-Alasan Pengujian Pasal 195 KUHAP, Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009, Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP
A. Pemaknaan Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 Khusus Frasa “Diucapkan Di Sidang Terbuka Untuk Umum” yang Dimaknai Bahwa Dalam Pembacaan Putusan Harus Terdapat Irah-Irah “Diucapkan Di Sidang Terbuka Untuk Umum” Tanpa Ada Kewajiban Memberikan Pengumuman Jadwal Pembacaan Putusan Kepada Masyarakat, Mengakibatkan Akses Masyarakat Untuk Menghadiri Pembacaan Putusan Terhambat, Karena Tidak Ada Keterbukaan Jadwal Pembacaan Putusan
1. Bahwa Pasal 195 KUHAP menyatakan “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 yang menyatakan “Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum” tetapi hampir seluruh Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum secara semu karena sidang tersebut hanya dihadiri oleh Hakim dan Panitera. Masyarakat umum tidak bisa menghadiri putusan tersebut, karena Pengadilan tidak terbuka dalam memberikan jadwal putusan kepada masyarakat;
2. Bahwa selama ini berkembang penafsiran di kalangan hakim bahwa frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” diartikan dalam pembacaan putusan harus terdapat irah-irah atau pernyataan putusan dibacakan di dalam sidang terbuka untuk umum, tanpa memperdulikan apakah dalam pembacaan putusan masyarakat umum mengetahui jadwal pembacaan putusan sehingga bisa menghadiri pembacaan putusan tersebut;
3. Bahwa dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 seharusnya mempersyaratkan bahwa semua putusan pengadilan baik itu tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang terbuka umum dimana diumumkan secara terbuka kepada masyarakat umum perihal jadwal pembacaan putusan. Persidangan yang dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan bentuk tradisional dari transparansi di lingkungan peradilan. Prinsip pengadilan yang terbuka ini telah menjadi salah satu prinsip pokok dalam sistem peradilan di dunia. Dari perspektif lain, keterbukaan ini merupakan kunci lahirnya akuntabilitas. Hakim dan pegawai pengadilan akan lebih bersunggung-sungguh dan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, karena publik bisa mengakses hasil kerjanya. Dalam konteks putusan pengadilan, prinsip keterbukaan ini akan mendorong lahirnya putusan yang berkualitas dan mencerminkan rasa keadilan;
4. Bahwa sebagai warga negara, Pemohon mempunyai hak yang dilindungi oleh Pasal 28F UUD 1945 untuk mendapatkan informasi teraktual tidak terbatas pada pembacaan putusan pengadilan, tetapi selama ini pembacaan putusan banding, kasasi dan peninjauan kembali selalu dilakukan secara tertutup;
5. Bahwa putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diucapkan dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa di antara para pihak. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili yang mengandung legal justice, moral justice dan social justice. Argumen tersebut sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, pencari keadilan, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum. Karena putusan mengandung pertanggung-jawaban maka acara pembacaan putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum;
6. Bahwa dalam praktek peradilan selama ini, masyarakat umum yang tidak mempunyai akses ke kepaniteraan, baru mengetahui adanya putusan tidak seketika itu juga ketika putusan dibacakan karena diakibatkan oleh birokrasi kepaniteraan di Pengadilan. Adanya jeda waktu yang panjang antara pembacaan putusan dan penyampaian putusan kepada Para Pihak menimbulkan ketidakpastian hukum karena seharusnya mereka mengetahui Putusan sejak Putusan tersebut dibacakan, untuk mengambil langkah-langkah hukum yang terbaik untuk dirinya. Adanya jeda waktu menimbulkan “keadilan yang tertunda”, khususnya bagi Terdakwa atau Terpidana yang diputus bebas atau lepas. Oleh karena itu supaya frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, maka harus dimaknai “Sebelum pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan secara terbuka kepada masyarakat umum dan pihak-pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan supaya masyarakat umum yang ingin mengetahui putusan pengadilan secara aktual dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut”.
B. Putusan Bukan Pemidanaan yang Batal Demi Hukum Sebagaimana Diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP mengandung Ketidakpastian Hukum baik Bagi Terdakwa/Terpidana, Korban Maupun Pihak-Pihak yang Merasa Dirugikan
1. Bahwa Pasal 199 KUHAP menyatakan:
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat :
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;
b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika Ia ditahan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini.
2. Bahwa ketentuan Pasal 199 KUHAP mempunyai keterkaitan dengan Pasal 197 KUHAP yang menyatakan:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP
“Kecuali yang tersebut pada huruf a,e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.”
3. Bahwa jika Pasal 199 ayat (2) KUHAP dikaitkan dengan Pasal 197 KUHAP, maka putusan bukan pemidanaan menjadi putusan batal demi hukum jika tidak terdapat ketentuan:
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
4. Bahwa setelah dibandingkan dengan persyaratan putusan bukan pemidanaan sebagaimana dijelaskan di atas, Putusan Mahkamah Agung No. 591 K/Pid.Sus/2010 a.n. Prof. Dr. Romli Atmasasmita dan Putusan Mahkamah Agung No. 102/PK/Pidsus/2011 a.n. Yohanes Waworuntu merupakan putusan bukan pemidaan yang batal demi hukum karena tidak mencantumkan syarat yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 199 ayat (1) KUHAP;
5. Bahwa adanya ketentuan putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Terdakwa/Terpidana, karena status hukumnya menjadi tidak jelas apakah dibebaskan atau dilepaskan sebagaimana yang ada dalam Putusan, atau mengikuti Putusan sebelumnya karena putusan bukan pemidanaan tersebut dianggap batal demi hukum;
6. Begitu juga bagi korban atau pihak-pihak yang merasa dirugikan atas putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum tersebut juga mengalami ketidakpastian hukum sebagaimana dialami Pemohon. Yang menjadi pertanyaan bagi korban atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan adalah bagaimana akibat hukum putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum terhadap perkara lain yang mempunyai kaitan dengan perkara tersebut? Apakah putusan tersebut masih dapat digunakan sebagai dasar rujukan bagi perkara lain untuk dikeluarkan SP3, mengingat Putusan tersebut batal demi hukum?
7. Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Adapun ciri-ciri sebagai negara hukum yaitu diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil;
8. Bahwa secara yuridis UUD 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyediakan instrumen berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
9. Bahwa pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud di atas juga mencakup pengakuan, jaminan, dan perlindungan atas asas-asas hukum yang berlaku universal. Salah satu asas hukum yang diakui eksistensinya dalam sistem hukum Indonesia adalah kepastian hukum;
10. Bahwa selama ini pengertian putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan maupun Memorie van Toelichting. Menurut Ahli Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H., M.Sc, menyatakan “Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum” (Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc, “Pendapat Hukum terhadap Putusan Batal Demi Hukum”, 15 Mei 2012, diakses di http://yusril.ihzamahendra.com).
11. Bahwa supaya terdapat kepastian hukum bagi Para Pihak perihal putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP, maka harus ada penafsiran tentang makna dan ukuran putusan batal demi hukum tersebut, supaya putusan tersebut menjadi pasti.
C. Putusan Pemidanaan yang Batal Demi Hukum sebagaimana Diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP Menimbulkan Ketidakpastian Hukum Bagi Terpidana, Aparat Penegak Hukum, Korban Maupun Pihak-Pihak yang Merasa Dirugikan
1. Bahwa putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Terpidana, apakah harus menjalani hukuman atau harus bebas, mengingat di dalam Putusan tersebut tidak ada perintah ditahan ataupun Poin-Poin lain yang ada dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengakibatkan putusan batal demi hukum;
2. Bahwa putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakpastian hukum bagi jaksa yang akan melakukan eksekusi, karena bisa dilaporkan dengan tindak pidana merampas kemerdekaan orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 333 KUHP, karena menahan seseorang atas dasar putusan batal demi hukum;
3. Bahwa putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakadilan bagi korban atau pihak-pihak yang merasa dirugikan, karena seharusnya Terpidana menjalani hukuman. Namun nyatanya, Terpidana tak kunjung dieksekusi dan melakukan perlawanan karena menganggap Putusannya batal demi hukum.
4. Bahwa supaya terdapat kepastian hukum bagi Para Pihak perihal putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, maka harus ada penafsiran tentang makna dan ukuran putusan batal demi hukum tersebut.
IV. Petitum
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 konstitusional bersyarat, sepanjang frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dimaknai bahwa “Sebelum pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan secara terbuka kepada masyarakat umum dan pihak-pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan supaya masyarakat umum yang ingin mengetahui putusan pengadilan secara aktual dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut”.
3. Menyatakan Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) UU 48/2009 mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “diucapkan di sidang terbuka untuk umum” dimaknai “Sebelum pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan secara terbuka kepada masyarakat umum dan pihak-pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan supaya masyarakat umum yang ingin mengetahui putusan pengadilan secara aktual dapat menghadiri pembacaan putusan tersebut”.
4. Memberikan penafsiran putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP supaya sesuai dengan UUD 1945.
5. Memberikan penafsiran putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP supaya mempunyai kekuatan hukum mengikat.
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Jika Majelis Hakim Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat Pemohon,
Muhamad Zainal Arifin S.H.